KERUSAKAN HUTAN
Idris
Sarong Al Mar mendefiniskan hukum kehutanan adalah serangkaian
kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis)
yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan.
Sedangkan
Salim mengemukakan bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum
yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, serta hubungan
antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan . Hal senada yang
telah dirumuskan Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, bahwa hukum
kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut
dengan pengurusannya.
Dengan
demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan meliputi:
(1) adanya kaidah hukum kehutanan baik
tertulis maupun tidak tertulis;
(2) mengatur hubungan antara negara dengan
hutan dan kehutanan, dan;
(3) mengatur hubungan antara individu
(perorangan) dengan hutan dan kehutanan.
Pengertian hutan pada pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi UU, dinyatakan bahwa suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan.
Dengan demikian, dari pengertian di atas ada beberapa
unsur yakni (1) unsur lapangan yang cukup luas
(minimal ¼ hektar) yang disebut tanah hutan, (2) unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna, (3) unsur
lingkungan dan, (4), semua unsur merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Sedangkan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.
Hutan
sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran
rakyat, cenderung menurun kondisinya. Oleh karena itu keberadaannya harus
dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari dan diurus
dengan akhlak mulia, adil,
arif dan bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggungjawab.
Pasal
5 UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo
UU Nomor 19 Tahun
2004, ditentukan empat
jenis hutan, yaitu berdasarkan (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus,
dan (4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
Pengurusan
hutan yang ada bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta
serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan ,meliputi
kegiatan penyelenggaran:
a. perencanaan kehutanan;
b. pengelolaan hutan;
c. penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
d. pengawasan.
Berbagai
macam upaya dilakukan untuk melestarikan sumber daya hutan dalam menjaga fungsi
pokok hutan yang meliputi: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Namun hasilnya kurang menggembirakan. khususnya hutan secara terpadu dan
berkelanjutan dari waktu-kewaktu.
Pengelolaan
hutan secara terpadu dan berkelanjutan masih merupakan obsesi yang sulit
diwujudkan. Hal ini karena rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
konservasi serta belum optimalnya pemerintah menangani persoalan sumber daya
hutan yang mengakibatkan, tidak tercapainya tujuan pengelolaan kawasan
konservasi hutan di Indonesia dapat dilakukan secara baik.
Ke
depan, pemerintah perlu sosialiasi terhadap apa yang
menjadi kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan hutan, agar tercipta hutan yang berkelanjutan dan
lestari.
Penghijauan
adalah salah satu kegiatan penting yang harus dilaksanakan secara konseptual
dalam menangani krisis lingkungan. Begitu pentingnya sehingga penghijauan sudah
merupakan program nasional yang dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Banyak
fakta yang menunjukkan bahwa tidak jarang pembangunan dibangun di lahan
pertanian maupun ruang terbuka hijau. Padahal tumbuhan dalam ekosistem berperan
sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial
untuk makhluk lainnya dan mengubah CO2 menjadi O2 dalam
proses fotosintesis. Sehingga dengan meningkatkan penghijauan di perkotaan
berarti dapat mengurangi CO2 atau polutan lainnya yang berperan
terjadinya efek rumah kaca atau gangguan iklim. Di samping vegetasi berperan
dalam kehidupan dan kesehatan lingkungan secara fisik, juga berperan estetika
serta kesehatan jiwa. Mengingat pentingnya peranan vegetasi ini terutama di
perkotaan untuk menangani krisis lingkungan maka diperlukan perencanaan dan
penanaman vegetasi untuk penghijauan secara konseptual.
Dari
berbagai pengamatan dan penelitian ada kecenderungan bahwa pelaksanaan
penghijauan belum konseptual, malah terkesan asal jadi. Memilih jenis tanaman
dengan alasan mudah diperoleh, murah harganya dan cepat tumbuh.
Manfaat
hutan antara lain :
- Sebagai suplyer Oksigen yang
merupakan bahan baku utama untuk pernafasan manusia,
- Menyerap karbondioksida,
- Sebagai pencegah erosi,
- Sebagai kawasan lidung dan
pariwisata, dan
- Sebagai paru-paru dunia.
Pemerintah saat ini lebih
memprioritaskan upaya konservasi kawasan hutan guna mewujudkan pelestarian dan
perlindungan sumberdaya alam hutan, daripada mengalihfungsikan kawasan hutan.
Kebijakan pengalihfungsian kawasan hutan di masa lalu dilakukan melalui
kegiatan perubahan fungsi kawasan hutan dari fungsi hutan konservasi dan atau
hutan lindung menjadi hutan produksi untuk tujuan pembangunan kehutanan (hutan
alam, hutan tanaman) maupun non kehutanan (pertambangan dan non kehutanan
lainnya).
Dalam UU No. 41 tahun 1999
pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan;
- Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses
tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
- Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan
peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar
kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan
non kehutanan lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula melalui
perubahan fungsi hutan namun tidak mengurangi luas kawasan hutan, misalnya
untuk tujuan pembangunan kehutanan (konservasi kawasan hutan alam/tanaman,
hutan pendidikan/penelitian dsb).
- Alih fungsi kawasan hutan yang berimplikasi terhadap
berkurangnya luas kawasan hutan produksi adalah kegiatan pelepasan hutan.
Kebijakan di masa lalu, dalam upaya mendukung pembangunan di luar sektor
kehutanan telah ditetapkan Rencana Penatagunaan dan Pengukuhan Hutan
(RPPH) yang tertuang dalam TGHK (tahun 1980) bahwa kawasan hutan produksi
yang dapat dikonversi dialokasikan sebesar + 30 juta
hektar.
UU No.41/99 tentang Kehutanan
Pasal 19 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa untuk melakukan perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus didasarkan atas penelitian terpadu
yang secara operasional prosedurnya diatur melalui SK Menhut No.
70/Kpts-II/2000. Sedangkan pengkajiannya dilakukan oleh tim terpadu sesuai SK
Menhut No. 1615/Kpts-VII/2001. Dengan terbitnya UU No.41/99, kegiatan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tidak dengan mudah dilaksanakan
mengingat di samping perubahan tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria
sebagaimana tercantum dalam PP No. 47 tahun 1997, PP No. 68 tahun 1998, Keppres
no. 32 tahun 1992, Keputusan-keputusan Menteri/SKB, juga perlu mendapat
rekomendasi pemerintah provinsi dan kabupaten, serta harus didasarkan atas
pengkajian secara terpadu oleh tim terpadu tersebut. Dan apabila berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis diperlukan persetujuan
legislatif. (DPR/DPRD).
Laju degradasi hutan di
Indonesia sepuluh tahun terakhir mencapai 1,6 hutan Ha/th, hal ini dinilai
sangat memprihatinkan. Departemen Kehutanan berupaya semaksimal mungkin untuk
mengurangi dan menekan laju degradasi tersebut dengan menerapkan moratorium
konversi hutan alam sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 603/Menhutbun-VIII/2000 jo surat Menhut No.
1712/Menhut-VII/2001 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati seluruh
Indonesia untuk tidak menerbitkan rekomendasi permohonan pelepasan kawasan
hutan bagi pengembangan budidaya perkebunan, namun justru mendorong para
pengusaha untuk mendayagunakan lahan yang telah disetujui pelepasannya. Berdasarkan data yang ada, dari
hutan produksi yang dapat dikonversi yang telah dilepaskan bagi kepentingan
pengembangan perkebunan seluas 4,4 juta hektar, namun realisasi tanaman
perkebunan baru mencapai 1,5 juta hektar (+ 34%), sedangkan sisanya
dalam kondisi telantar sehingga harus didorong untuk didayagunakan sesuai
dengan peruntukannya. Dengan adanya penerapan
moratorium konversi hutan alam tersebut, maka sejak 7 Juni 2000 Departemen
Kehutanan tidak lagi mengeluarkan ijin alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan
pelepasan kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan budidaya
pertanian/perkebunan.
Kebijakan tukar menukar kawasan
hutan telah dituangkan dalam keputusan Menhut No. 292/KptsII/1995 tanggal 12
Juni 1995 jo No. 70/Kpts-II/2001 tgl 15 maret 2001. Berdasarkan kebijakan
tersebut tukar menukar hanya diperbolehkan untuk:
- Pembangunan proyek-proyek
untuk kepentingan umum terbatas oleh instansi pemerintah atau untuk
pembangunan proyek strategis,
- Menghilangkan enclave
dalam rangka mewujudkan kawasan hutan yang kompak sehingga memudahkan pengelolaan kawasan
hutan , dan
- Menyelesaikan pendudukan
tanah kawasan hutan tanpa ijin Menteri Kehutanan (okupasi) dan memperbaiki
batas kawasan hutan.
Dewasa ini Departemen Kehutanan
sedang melakukan evaluasi pelepasan kawasan hutan untuk budidaya
pertanian/perkebunan terhadap perusahaan-perusahaan pemohon. Hasil evaluasi
dapat diuraikan sbb:
1. Telah
diterbitkan surat penolakan terhadap permohonan pelepasan kawasan hutan untuk
budidaya pertanian/perkebunan setelah tanggal 7 Juni 2000 dan permohonan
sebelum tanggal 7 Juni 2000 yang tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan.
2. Mencabut
kembali surat ijin persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan untuk budidaya
pertanian/perkebunan yang nyata-nyata tidak ada kemajuan fisik dan
administratif.
3.
Mencabut kembali ijin pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan
budidaya pertanian/perkebunan terhadap perusahaan yang nyata-nyata tidak
memanfaatkan lahan hutan yang telah diberikan, menyalahgunakan pemanfaatannya,
tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan proposal dan IUP atau tidak
menyelesaikan pengurusan hak guna usahanya.
Sedangkan alih fungsi kawasan
hutan melalui proses perubahan fungsi hutan saat ini dengan prioritas mendorong
sepenuhnya terhadap proses perubahan fungsi hutan dari fungsi hutan produksi
dan atau hutan lindung menjadi kawasan konservasi, dan fungsi hutan produksi
menjadi hutan lindung. Hal ini dilakukan dalam upaya penyelamatan, pelestarian
dan perlindungan terhadap sumberdaya alam sebagai penyangga kehidupan. Prioritas berikutnya yaitu
melakukan proses sangat selektif terhadap permohonan perubahan fungsi hutan
dalam kaitannya dengan pembangunan hutan tanaman yaitu diarahkan pada kawasan
hutan produksi yang tidak berhutan yang ditumbuhi semak, alang-alang atau tanah
kosong.
Tata
kelola hutan di era otonomi daerah menjadi perhatian lembaga riset dunia Centre
for International Forestry Research (CIFOR). Lembaga ini mengadakan penelitian
tata kelola hutan di Asia Pasifik. Tata kelola hutan di era otonomi daerah ini,
diharapkan memberi manfaat besar bagi warga sekitar hutan itu.
Permasalahan tata kelola hutan
menjadi salah satu faktor tergerusnya hutan di dunia. Padahal fungsi hutan itu
sangat banyak, terutama bila dikaitkan pada masalah pemanasan global. Salah
satu kunci untuk mengelola hutan yang berkelanjutan, adalah menyepakati soal
tata kelola hutan oleh berbagai pihak. Misalnya
di Indonesia. Sejak diberlakukan otonomi daerah di tahun 2000, itu merupakan
langkah positif untuk melibatkan semua pihak yang berdampingan dengan hutan
itu. Keterlibatan itu membuat warga sekitar menjadi bagian penting di ekosistem
itu. Mereka pun bisa berperan aktif dalam kelestarian hutan dan pengelolaannya.
Beberapa negara Asia Pasific yang
juga mengembangkan sistem desentralisasi itu, Indonesia menjadi salah satu
contoh dimana sudah berpengalaman mengenai
otonomi daerah. Memang diakui, penerapan di lapangan, dengan pemberian
wewenang begitu besar ke pemerintah daerah (pemda) itu, masih menemui beberapa
hambatan. Terutama soal pengelolaan hutan yang tepat guna. Sehingga perlu
evaluasi intens agar bisa ditingkatkan di masa depan.
Ada proses yang cukup menarik untuk
pengelolaan hutan secara luas. Saat ini warga lokal dan pemda yang hidup dekat
hutan, diberi kesempatan agar merasakan langsung manfaat dari pengelolaan
hutan. Karena sebelumnya di era orde baru, pengelolaan hutan itu diserahkan
kepada perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) saja, sehingga hasil
kelola dari hutan itu hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Pada saat otonomi
daerah diberlakukan, maka harapan besar pengelolaan itu bisa sesuai dengan
kebutuhan setempat, dan bermanfaat bagi warga sekitar.
Saat ini kendala dalam kelola hutan adalah komunikasi antara pemda dan pemerintah
pusat. Keduanya seakan hanya mengejar keuntungan tunai saja, tanpa melihat
kepentingan jangka panjang dari pengelolaan hutan di negeri ini. Satu hal
terpenting adalah komunikasi dan kesepakatan tata kelola yang baik. Misalnya
transparansi, pembagian keuntungan yang jelas, juga keterwakilan semua pihak
dalam proses perundingan itu, dan juga masalah konsep-konsep pengelolaan yang
sebaiknya dilakukan.
Kerusakan hutan telah terjadi
diberbagai belahan bumi khususnya Indonesia. Di Indonesia sendiri telah terjadi
diberbagai Propinsi diantaranya Propinsi Lampung dan Propinsi Kalimantan.
KERUSAKAN HUTAN DI PROPINSI LAMPUNG
A) Keadaan hutan Lampung
Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan dan perairan
Propinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor
256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 1999 adalah seluas ± 1.004.734 ha.
Tabel 1. Kawasan
Hutan
Fungsi Kawasan
|
Luas (ha)
|
Persen Luas (%)
|
Kawasan Hutan Konservasi
|
± 462.030 ha
|
45,99 %
|
Kawasan Hutan Lindung
|
± 317.615 ha
|
31,61 %
|
Kawasan Hutan Produksi
-
Kawasan Hutan Produksi terbatas
-
Kawasan Hutan Produksi Tetap
|
± 225.090 ha
± 33.358 ha
± 191.732 ha
|
22,40 %
3,32 %
19,08 %
|
Luas Keseluruhan
|
1.004.735 ha
|
100 %
|
Kawasan
Konservasi terdiri dari Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional
(TN), Taman Wisata Alam (TW), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Buru (TB). Hutan
Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Keadaan
penutupan lahan propinsi Lampung, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat
yang berkisar dari tahun 1994 s/d 1998 di wilayah daratan Lampung diketahui
bahwa luas daratan yang masih berupa hutan (berhutan) adalah sebesar 11% dan
daratan yang bukan berupa hutan (Non Hutan) sebesar 82%. Penutupan lahan non
hutan adalah penutupan lahan selain daratan yang bervegetasi hutan yaitu berupa
semak/belukar, lahan tidak produktif, sawah, lahan pertanian, pemukiman,
alang-alang dan lain-lain.
Menurut Departemen Kehutanan (2005) dari tahun
ke tahun luas tutupan hutan di Indonesia mengalami penurunan dari 101.843.486
ha pada tahun 1998 menjadi 81.964.217 ha pada tahun 2004, dengan laju penurunan
luas hutan yang semakin cepat yaitu mulai dari sekitar 2,53%/tahun pada tahun
1998 meningkat menjadi 4,82%/tahun pada tahun 2003. Secara rata-rata penurunan
luas tutupan hutan itu mencapai 3,55% per tahun dalam kurun waktu 6 tahun sejak
tahun 1998 sampai dengan tahun 2003.
Konversi
hutan terjadi pula di Provinsi Lampung sejalan dengan peningkatan jumlah
penduduk. Laju penggundulan hutan (deforestasi) di
Lampung relatif tinggi. Luas hutan selama beberapa tahun terakhir telah
berkurang dengan cepat dan menyebabkan kerusakan hutan. Pada tahun 1999/2000
kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB) adalah 82,014 hektar
atau 25,28% dan pada tahun 2005 adalah 99,904 hektar atau 28% dari luas total
hutan TNBB. Sebesar 11% lahan hutan rusak menjadi lahan belukar dan padang
alang-alang dan 17% sisanya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian yaitu
88,2% digunakan untuk usahatani kopi. Sedang menurut Bappeda Propinsi Lampung
(2007), kerusakan hutan di Propinsi ini mencapai 80% untuk Kawasan Hutan
Lindung, 67,5% untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 76% untuk Kawasan
Hutan Produksi Tetap.
Keadaan
Penutupan Lahan Propinsi Lampung
Berdasarkan
penafsiran citra satelit tahun 1994-1998
Tabel 2. Penutupan Lahan
Penutupan
|
Luas (ha)
|
Persen Luas (%)
|
Total Daratan yang ditafsir
|
3.359.906
|
100 %
|
Berhutan
|
361.319
|
10,75 %
|
Bukan hutan
|
2.760.658
|
82,16 %
|
Berawan
|
237.929
|
7,08 %
|
Sumber
: Pusat Data dan Perpetaan 1998
Laju
pengurangan hutan (Deforestasi) di Propinsi Lampung berdasarkan hasil
perbandingan dari Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dan Peta Penutupan
Lahan hasil penafsiran citra tahun 1997 Pusat Data dan Perpetaan Badan
Planologi diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 13 tahun telah terjadi
perubahan penutupan lahan hutan sebagai berikut :
Penutupan Lahan
|
RePProT (1985)
|
Dept. Hutan (1991)
|
Dept. Hutan (1997)
|
Luas
areal yang ditafsir
|
3.386.700
|
3.598.020
|
3.359.906
|
Hutan
|
647.800
|
570.060
|
361.319
|
%
hutan
|
19,1 %
|
15,8 %
|
10,8 %
|
Berdasarkan
data di atas rata-rata deforestasi hutan Propinsi Lampung dari tahun 1985-1997
adalah 23,873 %.
Laju deforestasi ini disebabkan banyak faktor,
yaitu sebagai berikut :
A.
Segi
biofisik
1. Illegal logging (Penebangan liar)
Terjadinya penebangan liar dalam
suatu kawasan hutan semakin memicu terjadinya kereusakan hutan dan menurunnya/berubah
fungsi hutan, walaupun penebangan liar telah dilarang selama bertahun-tahun
oleh pemerintah setempat dan pihak militer, namun sekarang ini terdapat bahaya
besar yang mengancam dengan merajalelanya pandangan “bebas bagi siapa saja”
termasuk penduduk untuk menebang kayu sebanyak-banyaknya.
2. Kebakaran hutan
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia ini, karena keteledoran dari masyarakat itu sendiri yang tidak memperhatikan/tidak memperdulikan seperti membuang puntung rokok ke hutan dan lain-lain.
3. Perambahan hutan
Petani yang menanam tanaman tahunan perkebunan dapat mengakibatkan ancaman utama berupa kerusakan hutan yang diciptakan oleh petani kaya, imigran dan pengusaha dari kota yang mengubah hutan menjadi lahan penanaman tanaman keras yang menguntungkan. Hal ini menyebabkan semakin meluasnya perambahan sehingga melewati tata batas hutan yang telah ditetapkan untuk tidak dijadikan sebagai lahan pertanian atau perkebunan.
4. Program pembangunan
Program pembangunan yang mendayagunakan lahan hutan seperti sawah, transmigrasi (pemukiman), perkebunan, dan lain-lain sehingga hutan menjadi berubah fungsi dan akan berakibat buruk bagi lingkungan.
5. Serangan hama dan penyakit
Timbulnya ledakan hama secara besar-besaran akibat dari penggunaan pestisida yang berlebihan sehingga membuat hama dan penyakit ada yang menjadi kebal terhadap pestisida dan menyerang semua tumbuhan atau pepohonan yang ada dalam suatu kawasan hutan.
B.
Segi
manajemen
1. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
lingkungan misalnya, dalam penyusunan
tata ruang, yang seharusnya suatu lahan itu adalah kawasan hutan, menjadi
kawasan pertanian, pemukimam dan lain-lain.
2. Perencanaan pembangunan yang
kurang memperhatikan kelestarian hutan seperti pembangunan rumah dari batu
merah, dimana pabrik batu merah berdiri di sekitar kawasan hutan, dimana pabrik
itu menggunakan bahan bakar kayu yang diambil dari hutan sehingga masyarakat
beramai-ramai menggunduli hutan untuk memenuhi kebutuhan pasokan kayu bakar
dari pabrik batu merah.
3. Persepsi dan pemahaman masyarakat yang tidak tepat terhadap
sumber daya hutan, dimana masyarakat lebih dominan menanam tanaman pertanian
dari pada tanaman kehutanan karena waktu yang dibutuh kan oleh tanaman
pertanian lebih cepat menghasilkan daripada tanaman kehutanan.
B) Alih fungsi hutan
Salah satu penyebab
deforestasi hutan di Propinsi Lampung adalah alih fungsi hutan menjadi lahan
pertanian. Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 19, istilah alih fungsi dikenal
sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
·
Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar
menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
·
Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan
kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan
(pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan non kehutanan
lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula melalui perubahan fungsi hutan
namun tidak mengurangi luas kawasan hutan, misalnya untuk yujuan pembangunan
kehutanan (konservasi kawasan hutan alam/tanaman, hutan pendidikan/penelitian
dsb).
·
Alih fungsi kawasan hutan yang berimplikasi terhadap berkurangnya
luas kawasan hutan produksi adalah kegiatan pelepasan hutan. Kebijakan di masa
lalu, dalam upaya mendukung pembangunan di luar sektor kehutanan telah
ditetapkan Rencana Penatagunaan dan Pengukuhan Hutan (RPPH) yang tertuang dalam
TGHK (tahun 1980) bahwa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
dialokasikan sebesar + 30 juta hektar.
Pada tahun 1999/2000
kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB) adalah 82,014 hektar
atau 25,28% dan pada tahun 2005 adalah 99,904 hektar atau 28% dari luas total
hutan TNBB. Sebesar 11% lahan hutan rusak menjadi lahan belukar dan padang
alang-alang dan 17% sisanya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian yaitu
88,2% digunakan untuk usahatani kopi. Sedang menurut Bappeda Propinsi Lampung
(2007), kerusakan hutan di Propinsi ini mencapai 80% untuk Kawasan Hutan
Lindung, 67,5% untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 76% untuk Kawasan
Hutan Produksi Tetap.
C) Erosi
Usahatani
berbasis kopi telah diyakini para pengambil kebijakan, sebagai
penyebab tingginya erosi dan sumber sedimentasi di daerah hutan. Meskipun berbagai dampak negatif dari alih
guna lahan hutan
telah banyak dibuktikan (Juo et al., 1995; Lal, 1986; Moreau, 1986;
Obara et al.,1995), namun bila kebutuhan
akan lahan begitu mendesak, konversi lahan hutan sangat sulit untuk
dihindari. Provinsi Lampung
merupakan provinsi dengan kasus alih guna lahan hutan tergolong
tinggi. Secara keseluruhan kawasan
hutan yang telah beralih fungsi menjadi kebun kopi di Provinsi
Lampung diperkirakan mencapai ± 71.000
ha (Hadisepoetro, 1999). Dari areal pertanaman kopi seluas 137.700 ha
(Ditjen Perkebunan,
2000), ± 52 % areal kopi di Provinsi Lampung berada di kawasan hutan.
D) Pengelolaan hutan
Tata kelola hutan di era otonomi daerah menjadi perhatian
lembaga riset dunia Centre for International Forestry Research (CIFOR). Lembaga
ini mengadakan penelitian tata kelola hutan di Asia Pasifik. Tata kelola hutan
di era otonomi daerah ini, diharapkan memberi manfaat besar bagi warga sekitar
hutan itu. Permasalahan tata kelola hutan menjadi salah satu faktor
tergerusnya hutan di dunia. Padahal fungsi hutan itu sangat banyak, terutama
bila dikaitkan pada masalah pemanasan global. Salah satu kunci untuk mengelola
hutan yang berkelanjutan, adalah menyepakati soal tata kelola hutan oleh
berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
F. E. Prasmatiwi. 2008. Analisis ekonomi dan keberlanjutan usahatani kopi konservasi di kawasan
hutan Propinsi lampung. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Mohammad
Aqsa. 2010. Dampak kerusakan
hutan terhadap lingkungan hidup. [13 Juni 2011].
Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan
Departemen Kehutanan. 2002. Data dan informasi Kehutanan Provinsi Lampung.
Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan
Departemen Kehutanan. Lampung.
Rilisindonesia. 2010. 600 Ribu Hektara Hutan di Provinsi Lampung Rusak. http://www.dephut.go.id. [13 Juni 2011]
Siaranpers. 2007. Alih fungsi kawasan hutan hanya
untuk optimalisasi fungsi kawasan hutan . No. 807/II/PIK-1/2002. http://www.dephut.go.id. [ 12 Juni
2011].
Zain, A.S.. 1995. Hukum Lingkungan: Kaidah-kaidah
pengelolaan lingkungan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 100 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar