Ubi kayu atau singkong (Mannihot esculenta) berasal dari
Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke-17 dibawa oleh
pedagang Spanyol dari Mexico ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa
negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan
sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubinya mengandung air sekitar 60%, pati 25-35%, serta protein, mineral,
serat, kalsium, dan fosfat. Ubi kayu merupakan sumber energi yang lebih tinggi
dibanding padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum (Murti, 2008).
Ubi kayu (Mannihot esculenta) termasuk tumbuhan
berbatang lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan
bergerigi yang terjadi pada bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya
bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu dapat tumbuh subur di
daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Daun ubi kayu
memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan dan tiap
tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna
kuning, hijau atau merah (Widianta dan Widi, 2008).
Menurut Rukmana (1997), taksonomi tanaman yang berasal
dari negara Brasil ini dapat diklasifikasikan sebagai :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Ordo : Eupphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot Esculenta Crantz
Ubi
kayu mempunyai tinggi batang hingga mencapai 3 meter atau lebih dengan warna
batang yang bervariasi, tergantung kulit luar, tetapi batang yang masih muda
pada umumnya berwarna hijau dan setelah
tua berubah menjadi keputih-putihan, kelabu, hijau kelabu, atau coklat
kelabu. Empelur batang berwarna putih,
lunak, dan strukturnya empuk seperti gabus.
Daun ubi kayu memiliki susunan berurat menjari dengan canggap 5 - 9
helai.
Menurut
Purnomo dan Purnawati (2010), potensi hasil ubi kayu ditentukan oleh sifat dari
bagian tanaman di atas tanah. Percepatan
perkembangan ubi kayu ditentukan oleh sifat genetis dan faktor lingkungan. Penggunaan bibit yang bermutu tinggi dan
sehat merupakan syarat utama untuk mempertahankan populasi tanaman per satuan
luas dan hasil yang tinggi. Batang ubi
kayu yang memenuhi persyaratan sebagai bibit adalah batang yang sudah berumur 7
sampai 12 bulan dengan diameter 2–4 cm.
Selanjutnya
menurut Purnomo dan Purnawati (2010), pengembangbiakan ubi kayu dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan biji dan stek, namun pada umumnya ubi kayu
ditanam dalam bentuk stek. Penanaman
dalam bentuk biji hanya diperlukan untuk pemuliaan tanaman. Bagian batang yang baik untuk ditanam
sebagai bibit adalah batang yang sudah berkayu, berumur 7 – 15 bulan, diambil 1
– 3 meter batang untuk stek dengan panjang stek kurang lebih 25 cm.
Pemilihan
varietas akan menentukan tingkat hasil
produksi. Penggunaan varietas unggul
seperti UJ-5 yang ditanam melalui sistem tanam yang dianjurkan mampu
menghasilkan ubi kayu hingga mencapai 50 – 60 ton/ha atau meningkat lebih dari
150 persen (Asnawi dkk, 2004).Penggunaan
jarak tanam yang tepat dapat meningkatkan indeks luas daun, menekan pertumbuhan
gulma, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, dan memperkecil erosi. Jarak tanam yang optimal dipengaruhi oleh
tingkat kesuburan lahan, verietas tanaman dan pola tanam. Apabila hasil ubikayu dimaksudkan untuk
pengolahan komersial, maka pola tanam tunggal monokultur lebih sesuai, namun
jika hasil ditujukan untuk konsumsi keluarga, maka penggunaan pola tanam
tumpangsari lebih sesuai. Dalam beberapa
hal, pola tanam tumpangsari secara ekonomi lebih menguntungkan daripada secara
tunggal (monokultur) (Zakaria, 2000).
Ubi
kayu harus ditanam di daerah yang panas dengan penyinaran penuh minimal 10 jam
per hari. Ubi kayu dapat tumbuh di
segala macam jenis tanah, terutama jenis tanah latosol, alluvial, dan
podsolik. Ubi kayu memerlukan curah
hujan tahunan optimum 760 – 1.015 mm.
Di Indonesia, ubi kayu ditanam di dataran dengan ketinggian kurang lebih
1.500 mm dpl, suhu minimum 10ÂșC dan kelembaban rata-rata 65% (Dinas Pertanian
dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2011).
Menurut
Purnomo, dkk (2007), pemberian pupuk dengan dibenamkan lebih efektif dalam meningkatkan
hasil daripada disebarkan. Peningkatan
efisiensi penggunaan pupuk dapat dilakukan dengan cara mengatur waktu
permberian, yaitu P dan 1/3 NK sebagai dasar dan 2/3 NK pada umur 2 – 3 bulan
setelah tanam. Ubi kayu sangat peka
terhadap penggunaan pupuk. Apabila dosis
pupuk diberikan terlalu tinggi, maka hasilnya akan menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya indeks luas
daun yang melampaui optimal, sehingga efisiensi fotosintesis menjadi rendah.
Pemanenan
ubi kayu yang tepat adalah saat hasil karbohidrat atau kandungan tepung dalam
umbi dan produksi dalam keadaan optimal.
Tanda-tanda saat pemanenan yang tepat adalah pertumbuhan daun mulai
menguning dan banyak yang rontok, umur tanaman telah mencapai 7 – 14 bulan
tergantung varietasnya (Santoso, 1996 dalam Ahmad, 2004).