Rabu, 22 Mei 2013

UBI KAYU


UBI KAYU/SINGKONG 

Ubi kayu atau singkong (Mannihot esculenta) berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke-17 dibawa oleh pedagang Spanyol dari Mexico ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubinya mengandung air sekitar 60%, pati 25-35%, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Ubi kayu merupakan sumber energi yang lebih tinggi dibanding padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum (Murti, 2008).

Ubi kayu (Mannihot esculenta) termasuk tumbuhan berbatang lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi pada bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah (Widianta dan Widi, 2008).

Menurut Rukmana (1997), taksonomi tanaman yang berasal dari negara Brasil ini dapat diklasifikasikan sebagai :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Ordo : Eupphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot Esculenta Crantz

Ubi kayu mempunyai tinggi batang hingga mencapai 3 meter atau lebih dengan warna batang yang bervariasi, tergantung kulit luar, tetapi batang yang masih muda pada umumnya berwarna  hijau dan setelah tua berubah menjadi keputih-putihan, kelabu, hijau kelabu, atau coklat kelabu.  Empelur batang berwarna putih, lunak, dan strukturnya empuk seperti gabus.  Daun ubi kayu memiliki susunan berurat menjari dengan canggap 5 - 9 helai.

Menurut Purnomo dan Purnawati (2010), potensi hasil ubi kayu ditentukan oleh sifat dari bagian tanaman di atas tanah.  Percepatan perkembangan ubi kayu ditentukan oleh sifat genetis dan faktor lingkungan.   Penggunaan bibit yang bermutu tinggi dan sehat merupakan syarat utama untuk mempertahankan populasi tanaman per satuan luas dan hasil yang tinggi.  Batang ubi kayu yang memenuhi persyaratan sebagai bibit adalah batang yang sudah berumur 7 sampai 12 bulan dengan diameter 2–4 cm.

Selanjutnya menurut Purnomo dan Purnawati (2010), pengembangbiakan ubi kayu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan biji dan stek, namun pada umumnya ubi kayu ditanam dalam bentuk stek.   Penanaman dalam bentuk biji hanya diperlukan untuk pemuliaan tanaman.   Bagian batang yang baik untuk ditanam sebagai bibit adalah batang yang sudah berkayu, berumur 7 – 15 bulan, diambil 1 – 3 meter batang untuk stek dengan panjang stek kurang lebih 25 cm.

Pemilihan varietas  akan menentukan tingkat hasil produksi.  Penggunaan varietas unggul seperti UJ-5 yang ditanam melalui sistem tanam yang dianjurkan mampu menghasilkan ubi kayu hingga mencapai 50 – 60 ton/ha atau meningkat lebih dari 150 persen (Asnawi dkk, 2004).Penggunaan jarak tanam yang tepat dapat meningkatkan indeks luas daun, menekan pertumbuhan gulma, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, dan memperkecil erosi.  Jarak tanam yang optimal dipengaruhi oleh tingkat kesuburan lahan, verietas tanaman dan pola tanam.  Apabila hasil ubikayu dimaksudkan untuk pengolahan komersial, maka pola tanam tunggal monokultur lebih sesuai, namun jika hasil ditujukan untuk konsumsi keluarga, maka penggunaan pola tanam tumpangsari lebih sesuai.  Dalam beberapa hal, pola tanam tumpangsari secara ekonomi lebih menguntungkan daripada secara tunggal (monokultur) (Zakaria, 2000).

Ubi kayu harus ditanam di daerah yang panas dengan penyinaran penuh minimal 10 jam per hari.  Ubi kayu dapat tumbuh di segala macam jenis tanah, terutama jenis tanah latosol, alluvial, dan podsolik.  Ubi kayu memerlukan curah hujan tahunan optimum 760 – 1.015 mm.   Di Indonesia, ubi kayu ditanam di dataran dengan ketinggian kurang lebih 1.500 mm dpl, suhu minimum 10ÂșC dan kelembaban rata-rata 65% (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2011).

Menurut Purnomo, dkk (2007), pemberian pupuk dengan dibenamkan lebih efektif dalam meningkatkan hasil daripada disebarkan.  Peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat dilakukan dengan cara mengatur waktu permberian, yaitu P dan 1/3 NK sebagai dasar dan 2/3 NK pada umur 2 – 3 bulan setelah tanam.  Ubi kayu sangat peka terhadap penggunaan pupuk.  Apabila dosis pupuk diberikan terlalu tinggi, maka hasilnya akan menurun.  Hal ini disebabkan oleh adanya indeks luas daun yang melampaui optimal, sehingga efisiensi fotosintesis menjadi rendah.

Ubi kayu merupakan tanaman rakus terhadap hara, hal ini ditunjukkan oleh tingginya hara yang terangkut panen, yaitu 4,91 kg N; 1,08 kg P; 5,83 kg K; 1,83 kg Ca; dan 0,79 kg Mg per hektar tiap ton umbi basah.  Oleh karena itu penggunaan pupuk organik terhadap ubi kayu yang ditanam secara terus menerus perlu dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan hara di dalam tanah dan meminimalkan penurunan hasil (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2011).

Menurut Rukmana (1997), hama penyakit merupakan kendala produksi yang cukup serius jika tidak dilakukan pengendalian secara efektif  terutama di daerah ubi kayu yang penanamannya dilakukan secara terus-menerus.  Cara pengendalian yang efektif adalah dengan menggunakan varietas resisten, bibit dan alat yang tidak terkontaminasi dengan hama penyakit, mengadakan rotasi tanaman dan penggunaan obat pencegah.  Penyakit utama tanaman ubi kayu adalah bakteri layu (Xanthomonas campestris pv. manihotis) dan hawar daun (Cassava Bacterial Blight/CBB).  Kerugian hasil akibat CBB diperkirakan sebesar 8 persen untuk varietas yang agak tahan, dan mencapai 50 – 90 persen untuk varietas yang agak rentan dan rentan. Varetas Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 tahan terhadap kedua penyakit ini.

Hama utama ubi kayu adalah tungau merah (Tetranychus urticae).  Hama ini menyerang hanya pada musim kemarau dan menyebabkan rontoknya daun, tetapi petani hanya menganggap keadaan tersebut sebagai akibat kekeringan.  Penurunan hasil akibat serangan hami tungu merah dapat mencapai 20 – 53 persen, tergantung umur tanaman dan lama serangan (Rukmana, 1997).

Menurut Santoso (1996) dalam Ahmad (2004), tanaman ubi kayu sangat peka terhadap kompetisi.  Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan dengan cara kultur teknik, penyiangan secara manual dan penggunaan herbisida.   Penerapan cara pengendalian gulma tersebut dipengaruhi oleh jenis pertanaman, modal, ketersediaan tenaga kerja buruh, kondisi lahan dan pola tanam.

Pemanenan ubi kayu yang tepat adalah saat hasil karbohidrat atau kandungan tepung dalam umbi dan produksi dalam keadaan optimal.   Tanda-tanda saat pemanenan yang tepat adalah pertumbuhan daun mulai menguning dan banyak yang rontok, umur tanaman telah mencapai 7 – 14 bulan tergantung varietasnya (Santoso, 1996 dalam Ahmad, 2004).