USULAN KEBIJAKAN BERAS
DARI BANK DUNIA: RESEP YANG KELIRU
M. Husein Sawit
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT
The
World Bank has experienced a long time in influencing the Indonesian economic
development policy, including rice policy. The economic policy as well as rice policy
in the era of decentralization and democratic government is a public policy. It
should be discussed openly to the public, involving civil society, political
parties, parliament members, local and central government, scientists and
others. The policy should not be dictated dominantly by scientists,
particularly foreign experts. This paper argues that the Bank viewed too
narrowly on poverty reduction. Expenditure poverty is very sensitive to rice
price and inflation. Human poverty is different to the expenditure poverty. The
former is closely related to generating employment, increasing productivity and
efficiency in agriculture sector, particularly food sub-sector where the poor
is more involved. The Bank is bias for short run poverty reduction, ignoring
structural and chronic human poverty. The human poverty can be solved by
increasing productivity in agriculture sector. At the same time, government has
to spend an appropriate amount of public expenditure for the poor. It is not
about how to make the rice price low.
Key
words : rice policy, public policy, poverty
alleviation
ABSTRAK
Kebijakan
perberasan Indonesia telah menjadi perhatian untuk sejumlah lembaga internasional,
termasuk Bank Dunia. Lembaga ini telah lama mengeritik dan mengintervensi
sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan perberasan.
Tampaknya, perilaku Bank Dunia belum banyak berubah di era desentralisasi dan
demokrasi. Seharusnya yang diberi peran besar adalah masyarakat sipil, partai
politik, DPR/DPRD, pemda, dan peneliti dalam merancang kebijakan publik. Itu
bukan lagi menjadi domain peneliti, apalagi ahli asing. Dalam makalah ini
dibahas tentang kelemahan cara pandang Bank Dunia terhadap kebijakan beras di
Indonesia, terutama yang dikaitkan dengan kemiskinan. Kelemahan itu mencakup
pengukuran kemiskinan yang terlalu sempit, dan bias jangka pendek, bukan
melihat kemiskinan manusia yang bersifat struktural dan kronis. Hampir tidak
pernah dijumpai dalam literatur ekonomi pembangunan bahwa kemiskinan di
negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan harga pangan. Itu
konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Solusi yang benar adalah gerakkan
sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama
di sektor pertanian dimana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya.
Industri padi/beras adalah salah satu di antaranya, bukan membuat harga beras
murah.
Kata
kunci: kebijakan beras, kebijakan publik,
pengentasan kemiskinan
PENDAHULUAN
Sejak akhir 2006, Bank Dunia semakin
sering mengeritik pemerintah tentang kenaikan harga beras, baik terbuka maupun
tertutup. Akhir-akhir ini, Bank Dunia semakin aktif melobi dan menawarkan resep
buat pemerintah, agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas
cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar
swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Mereka yakin sekali,
pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (World Bank,
2007). Perilaku Bank Dunia di Indonesia tampaknya belum berubah, belum belajar
dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas krisis ekonomi, terjerat hutang
luar negeri, serta terlalu banyaknya
sumberdaya alam, perbankan dikuasai oleh perusahaan asing. Pendapat Bank Dunia
termasuk juga berbagai hasil penelitiannya, tidak kredibel di mata masyarakat
luas di Indonesia. Di Makasar misalnya, Bank Dunia terpaksa harus menghilangkan
atribut Bank Dunia di kantor di mana proyek mereka ada. Sebelumnya, hampir
setiap hari ada saja demonstrasi
ke kantor proyek Bank Dunia, sehingga
mereka tidak nyaman bekerja. Sebaik apapun saran Bank Dunia, masyarakat
Indonesia pasti mencurigainya. Ini akibat dari reputasi mereka masa lalu dan
akibat dari perilaku mereka sebagai salah satu lembaga perusak ekonomi,
termasuk ekonomi Indonesia (Perkin, 2004). Tujuan makalah ini adalah untuk
menilai kelemahan cara pandang
yang bias tentang kebijakan beras Bank
Dunia.
CARA PANDANG BANK DUNIA DAN KENYATAANNYA
Domain Publik bukan Domain Peneliti
Bank Dunia seharusnya memahami benar,
tentang cara-cara menyusun kebijakan publik di era demokrasi, tidak boleh
didikte oleh segelintir para ahli. Pada era sentralisasi Orba, para teknokrat
dan birokrat –dibantu oleh tenaga ahli asing- berperan besar dalam mendikte
kepentingan masyarakat banyak. Namun dalam era demokrasi, peran masyarakat
dalam proses penyusunan kebijakan publik-seperti kebijakan beras- haruslah
lebih besar. Kebijakan beras itu adalah domain kebijakan publik. Kebijakan
beras harus mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, DPR, pemerintah
daerah, tidak boleh didikte oleh peneliti, apalagi oleh peneliti asing atau
ahli lembaga asing yang kurang memahami secara mendalam tentang rumah tangga
petani dan masyarakat desa. Di samping itu, apabila saran-saran mereka diterapkan
pemerintah, diperkirakan akan sulit diimplementasikan di lapangan, apabila
kurang dukungan publik, kurang dukungan
Pemda, serta akan selalu dipersoalkan oleh DPR/DPRD, sehingga kebijakan yang
diputuskan itu menjadi tidak produktif.
Kebijakan beras yang mereka susun itu
(Bank Dunia, 2007) hanya mengacu pandangan ahli asing atau literatur yang
ditulis oleh orang asing. Itu tidak berarti pandangan ahli asing tidak
diperlukan, tetapi tidak boleh dominan, serta perlu didalami sejumlah
kepentingan yang melekat di belakangnya. Dari total hampir 100 jumlah
literatur, hanya 4-5 literatur yang ditulis oleh orang Indonesia asli. Padahal,
banyak studi tentang padi/beras yang telah dilakukan oleh para ahli bangsa
Indonesia, tetapi diabaikan tanpa dipakai sebagai bahan rujukan. Ini menunjukkan
bagaimana miskinnya Bank Dunia dalam memahami pikiran para ahli Indonesia. Namun
mereka mencoba mempengaruhi sejumlah menteri ekonomi yang beraliran neoliberal.
Bank Dunia juga rajin menyampaikan gagasan perubahan kebijakan beras pada
berbagai forum sejak akhir 2006, baik dengan cara mengundang sejumlah ahli
Indonesia ke markas mereka di Jakarta, atau mengadakan seminar di luarnya, seperti di
lembaga PBB (CAPSA) di Bogor. Namun, mereka menghindari diskusi terbuka dengan
masyarakat luas (civil
society) atau dengan para
pakar Indonesia di luar kubu mereka. Bank Dunia langsung menyampaikan
gagasannya ke tingkat pengambilan keputusan tentang kebijakan beras ke Kantor
Menko perekonomian atau ke sejumlah menteri lain yang sealiran dengan Bank
Dunia. Penulis juga kaget, ada power point tentang kebijakan beras disiapkan
oleh Bank Dunia untuk SBY.
Net Konsumen? Data Susenas vs data
Tingkat Usahatani
Bank Dunia mengatakan bahwa telah
terjadi kenaikan jumlah orang miskin yang cukup serius sejak harga beras naik.
Itu buruk buat penduduk miskin, karena sebagian besar petani adalah net
konsumen. Pandangan ini adalah keliru. Pola panen padi adalah musiman, mereka
surplus pada MPR (musim
panen raya) dan MPG (musim panen gadu),
dan defisit pada MP (musim paceklik). Tetapi, data Susenas BPS memperlihatkan
sebaliknya, sebagian besar petani padi adalah net konsumen. Data Susenas
haruslah dianalisis dengan hatihati dalam kaitannya dengan estimasi produksi
musiman dan pengeluaran musiman. Susenas menaksir tahunan berdasarkan hasil
penelitian seminggu, kemudian dikalikan menjadi tahunan. Hasilnya adalah
defisit produksi (net consumer), seolah-olah terjadi sepanjang tahun.
Data itulah yang dipakai Bank Dunia untuk mempertahankan argumentasinya.
Namun, hasil studi intensif yang
dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2002) di DAS Brantas melaporkan
sebaliknya. Para petani mengelola usahatani padi untuk MH (musim hujan), MK1
(musim kemarau pertama) dan MK2, masingmasing seluas 0,35 ha, 0,33 ha, dan 0,23
ha per petani. Luas ini adalah umum dijumpai pada usahatani pangan, khususnya
padi di Indonesia. Mereka melaporkan bahwa konsumsi per kapita sebesar 107
kg/kap/tahun. Ini adalah jumlah yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga
tani, belum termasuk konsumsi tidak langsung seperti makan di warung, pesta,
tempat kerja, dll.
Terabaikan Peran Non-Food Services
Seterusnya, laporan Bank Dunia (2007)
itu juga terlalu sempit dalam melihat industri beras yaitu hanya sebagai
industri penghasil padi/beras untuk tujuan komersial belaka. Mereka tidak
menilai peran pangan, khususnya beras yang menghasilkan non-food services.
Itu menyangkut stabilitas politik, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan,
penyerapan tenaga kerja. Harga beras yang
berlaku di pasar belum memperhitungkan non-food
services yang ia berikan ke publik (Dillon et al., 1999). Konsumen
seharusnya perlu membayar harga beras lebih tinggi dari tingkat harga pasar,
sekiranya non-food services itu diperhitungkan. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, bahwa padi/beras adalah industri kunci dalam pembangunan,
khususnya pembangunan perdesaan. Kalau suatu industri yang erat kaitannya ke
depan dan kebelakang, menyerap tenaga kerja yang begitu besar, pengangguran
tinggi, terutama di perdesaan, maka industri itu harus dianalisis
keterkaitannya yang luas, tidak dianalisis secara parsial. Oleh karena itu,
industri padi/beras harus dilihat dengan hati-hati dan bijaksana, jangan bias
ke jangka pendek. Harga merupakan salah satu insentif buat pelaku usaha, namun
itu bukanlah satu-satunya insentif buat mereka. Peningkatan produktivitas dan efisiensi,
merupakan insentif lain yang tidak boleh diabaikan, itu terkait dengan non-price
incentive. Insentif harga dan nonharga akan saling memperkuat, bukan saling
menggantikan. Oleh karena itu, insentif nonharga tidak ampuh manakala harga
gabah/beras terlalu rendah, tidak mampu menutupi ongkos produksi. Tingkat
kemiskinan yang dikaitkan dengan harga beras, merupakan cara pandang sempit.
Itu hanya cara hitung menghitung, amat jangka pendek dan adhoc sifatnya.
Kita jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang, hanya sekedar untuk
mencapai kepentingan jangka pendek. Adalah hampir tidak mungkin, kemiskinan
jangka panjang dapat dikurangi secara berkelanjutan, manakala industri
beras/padi lesu.
Kelesuan ini, tidak dengan sendirinya
akan tergantikan oleh komoditas lain, seperti hortikultura. Kita tidak boleh
menghambat suatu industri yang punya keunggulan komparatif, dipaksakan untuk
keluar dari industri itu, padahal industri lain belum kuat terbangun.
Pengembangan hortikultura misalnya, akan berisiko tinggi dan instabilitas harga
yang besar, karena infrastruktur pemasaran dan distribusi yang masih amat
lemah. Apabila mereka beralih ke sektor lain dalam kondisi infrastruktur itu
belum diperkuat, maka akan menggiring petani sempit untuk menanggung risiko
yang tinggi. Itu tidak akan mampu mengurangi jumlah orang miskin secara
berkelanjutan. Itu mengingatkan pengalaman Meksiko dalam meliberalisasi
komoditas jagung sebagai makanan utama mereka, dan petani jagung dialihkan ke
kentang. Namun petani Meksiko tidak beralih ke tananam kentang, mereka pindah
ke kota. Sebagian juga bermigrasi ke AS (IATP, 2007a dan Albert, 2004).
Penanganan kentang berbeda dengan jagung, terutama dalam penyimpanan, karena
pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang layak untuk itu. Akibatnya
terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran di perdesaan Meksiko. Pada saat
kita mengabaikan sektor kunci seperti subsektor padi/beras, maka risikonya
menjadi besar. Pada situasi pengangguran tinggi dan pengangguran tidak kentara
di desa amat menonjol, itu akan menambah kemiskinan dan akan mendorong
bertambahnya urbanisasi. Perkotaan akan menerima beban dan akibatnya, seperti
kekumuhan, kriminalitas dan keresahan sosial yang terus bertambah. Itu buah
dari urbanisasi yang berlebih, mengabaikan peningkatan pendapatan serta
lapangan kerja di perdesaan. Perdagangan tentu tidak dapat menyelesaikan semua
itu, apalagi
kemiskinan. Mengotak-atik harga pangan
agar dibuat murah, sama saja memberi obat penghilang rasa sakit sementara (pin
killer), tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri. Penyakit utama
adalah lapangan kerja yang terbatas, produktivitas rendah, insentif untuk
bekerja di sektor pertanian merosot. Insentif harga adalah salah satu yang
tidak boleh diabaikan untuk itu. Demikian juga, pada saat harga beras turun
murah yaitu terjadi pada periode serbuan impor beras yang tinggi periode 1999,
2002, dan 2003 (seperti yang dibahas pada bagian lain dalam makalah ini),
ternyata jumlah orang miskin tetap tidak berkurang secara signifikan. Namun, pada saat harga beras naik,
harga beras dianggap sebagai
faktor penyebabnya, tidak sebaliknya.
Hal itu amat tidak realistis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur
ekonomi, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan
memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar
adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan
produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak
menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya.
Bukan membuat harga pangan atau beras murah sehingga menjadi tidak wajar buat
petani.
Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan
Analisis
Kelemahan lain kaitan harga beras dengan
kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema
(2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu.
Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23 persen. Namun peran nonberas
jauh lebih tinggi mencapai 77 persen. Ia juga menyebutkan bahwa hasil
penelitiannya dan penelitian lain seperti
yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR,
menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi.
Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah
komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri. Ia juga
mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari
sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari
ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan
pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja,
mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat ntuk atasi kemiskinan
(Sugema, 2006).
Juga penting untuk disikapi secara
kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran
kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan
berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep
Sen (2000) tentang kemiskinan nonpendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as
capability deprivation.
Kemiskinan sebagai
kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan,
perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income
poverty, bukan kemiskinan pengeluaran. Tingkat kemiskinan itu tidak
sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP
merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat
indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi
acuan kita. Laporan tentang kemiskinan
manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun
terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari
Demokrasi: Membiayai Pembangunan
Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP (2004).
Dengan konsep ini Dhanani dan Islam
(2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25 persen,
bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11 persen pada 1996. Sayang,
konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program
pembangunan daerah maupun nasional.
Akibatnya Indonesia amat terbelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan
dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses
terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan. Oleh karena itu,
kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan
tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait
dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin
dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi
pemerintah yang terarah ke orang miskin.
Impor Beras dari AS tidak Penting?
Bank Dunia (2007) juga mengklaim bahwa
ekspor beras AS berpengaruh kecil ke Asia, tentunya juga ke Indonesia. Ekspor
beras AS banyak ditujukan ke Amerika Latin. Kalaupun diekspor ke Asia, jenis
berasnya berbeda, sehingga harga pasar jenis itu tidak terkait sama sekali (almost
completely disconnected) dengan beras lokal. Ini untuk membuktikan bahwa
Indonesia tidak perlu khawatir
dengan beras yang penuh subsidi berasal
dari AS, karena tidak akan berpengaruh besar ke pasar beras dalam negeri. Namun,
data memperlihatkan bahwa impor beras Indonesia dari AS cukup tinggi di antara
negara maju yang mengekspor beras ke Indonesia. Impor beras dari AS meningkat
di era liberalisasi dan era tarif. Pada 1996, hanya 9 ribu ton, meningkat
menjadi 75 ribu ton pada 1999. Pada 2001 dan 2003, adalah tahuntahun tertinggi
impor beras dari AS yaitu mencapai masing-masing 178 ribu dan 108 ribu ton,
terbesar selama 10 tahun terakhir. Setelah Indonesia menerapkan batasan impor
beras sejak 2004, impor beras dari AS menurun drastis, hanya 2 ribu ton pada
2005. AS berperan penting dalam impor beras ke Indonesia. Hampir separoh impor
beras ke Indonesia yang datang dari negara maju berasal dari AS. Beras dari AS
yang murah harganya, dipakai oleh para pedagang untuk dicampur (oplos) dengan beras
lokal, sehingga menghasilkan jenis beras baru dengan harga yang lebih murah.
Hal itu telah memperbesar stok Bulog, sehingga menjadi berkurang kemampuannya
untuk menyerap pengadaan beras/gabah dalam negeri.
Impor itu dalam bentuk food aid melalui
bantuan multilateral (WFP) dan melalui program PL480 dengan kredit lunak jangka
panjang. Kredit lunak dan jangka panjang sesungguhnya juga merugikan pemerintah
Indonesia, karena Indonesia harus membayar harga beras yang jauh lebih mahal
dari harga beras di luar program. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai pejabat
di berbagai departemen,
seperti Departemen Keuangan, Bappenas.
AS “memaksa” agar Indonesia mau menerima program PL480. Apabila tidak berhasil
meyakinkan Bulog misalnya, mereka akan ke departemen lain, atau ke pejabat
tertinggi seperti presiden atau wakil presiden. Apabila telah disetujui,
selanjutnya yang memutuskan kedatangan beras itu adalah AS. Umumnya didatangkan
pada musim panen raya. Itu telah berpengaruh negatif terhadap tingkat harga
beras/gabah di dalam negeri. Pemerintah tidak berdaya untuk itu. AS tentu mampu
menjual beras dengan harga murah ke Asia. AS melalui
Farm Bill 2002 misalnya memberikan
subsidi terhadap 20 komoditas pertanian. Namun, subsidi terbesar ditujukan ke 5
komoditas utama yaitu beras, kapas, gandum, jagung dan kedelai (IATP, 2007b).
Inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah negara berkembang sulit bersaing dan
terpuruk, seperti petani jagungMeksiko, petani kapas di Afrika (Husein Sawit,
2007). AS mensubsidi sejumlah komoditas pangan, itu banyak kaitannya dengan kepentingan
korporasi raksasa. Korporasi AS itu merambah dunia, seperti Cargill (beroperasi
di 63 negara), Mosanto (61 negara), Tyson Foods (80 negara) dan Archer Danniels
Midland yang beroperasi di Amerika Latin, Negara Pasifik, Afrika, Kanada,
Eropa.
Hasil penelitian IATP (2007b)
menyebutkan bahwa AS melalui lembaga WTO dan Bank Dunia memaksa negara
berkembang untuk menurunkan tarif dan membuka pasar, sehingga memuluskan MNCs
milik AS untuk melakukan kegiatan bisnis pangan secara global. AS tentu ngiler
melihat potensi pasar di sejumlah negara Asia, seperti China, India dan
Indonesia. Disana banyak
penduduk yang memerlukan pangan,
permintaan berbagai jenis pangan yang terus
meningkat seiring dengan kemajuan
ekonomi. Hal itulah yang mereka ingin rebut.
SERBUAN IMPOR BERAS
Indonesia adalah negara net importir
beras sejak lama, kecuali pada waktu swasembada beras 1984. Sejak 1990, impor
beras terus meningkat. Produksi beras dalam negeri tidak mampu mengejar laju
pertumbuhan permintaan beras dalam negeri, seiring dengan pertambahan penduduk
dan peningkatan pendapatan, terutama berkurangnya jumlah penduduk miskin.
Puncak impor beras Indonesia
terjadi pada periode krismon 1998-1999.
Pada era liberalisasi perdagangan, impor beras Indonesia mengalir pesat, tanpa
hambatan. Kemudian pemerintah mengoreksi kebijakan itu dengan berbagai cara,
menetapkan tarif spesifik dan terakhir membatasi impor (import restriction).
Pada waktu pemerintah Orba, stabilisasi ekonomi makro, khususnya inflasi
menjadi inti untuk pembangunan ekonomi. Harga beras berperan besar dalam
penentuan tingkat inflasi, sehingga harga beras dikendalikan untuk tujuan menstabilkan
harga umum. Bulog diberikan hak monopoli impor beras oleh
pemerintah, guna mestabilkan harga beras
dalam negeri. Monopoli impor beras telah ada sejak zaman penjajahan. Penjajah
Belanda melarang perdagangan bebas untuk beras, guna untuk melindungi
kesejahteraan masyarakat perdesaan, sebagai akibat dari rendahnya harga beras
di pasar global serta lemahnya posisi petani (Boeke, 1946). Sejak itu, rasional
untuk mengontrol perdagangan beras telah
berubah, namun monopoli impor tetap
dipertahankan dengan alasan kandungan politik yang amat sensitif (Mears, 1981)
Pada pertengahan 1997, krisis moneterpun
datang yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi. Banyak sektor keuangan dan
sektor riil yang tutup, terutama sektor perbankan dan konstruksi. Tingkat
pengangguran tiba-tiba bertambah, serta harga barang sulit dikontrol, termasuk
harga pangan dan beras khususnya. Inflasi pada 1998 melonjak menjadi 78 persen,
yang sebelumnya di
bawah 10 persen, misalnya pada 1996
hanya 6 persen. Indonesia pun terpaksa harus berhutang yang lebih banyak lagi
pada lembaga internasional, terutama IMF. Pada 1998, hutang luar negeri
Indonesia
telah mencapai 168 persen dari GDP. Pada
tahun 2006, hutang luar negeri Indonesia tinggal 40 persen dari GDP. Morosot
tajam, setelah Indonesia memutuskan untuk mengembalikan seluruh hutang kepada
lembaga tersebut.
Sejak itulah, Indonesia harus menerima “resep
pahit” dalam kerangka pemulihan ekonomi. Resep pahit itu merambah ke
sektor-sektor lain, terutama perubahan dalam kebijakan pangan, yang
sesungguhnya IMF tidak punya kompetensinya. Mulai 1998, semua pangan termasuk
beras tentunya, dideklarasikan pasar bebas. Peran Bulog dibatasi dan
dipersempit perannya. Malah pada 1999,
perannya sebagai STE dicabut. Pada 2002,
Bulog memperoleh lagi haknya sebagai STE, setelah dinotifikasi di WTO akhir
2002 (Husein Sawit, 2005). Sejumlah previlage buat Bulog dihapus,
seperti subsidi kredit, dana luar budget (off-budget) dan akses terhadap
nilai tukar yang bersubsidi. Sejak itu, impor pangan yang dikelola Bulog selama
ini seperti gula, beras, gandum, kedelai dibebaskan tata
niaganya. Itu tentu tidak lepas dari berbagai komitmen
pemerintah yang disepakati dengan pihak IMF. IMF mengikat pemerintah dengan LOI
(letter of intend). LOI itu dirancang oleh IMF di kantor pusat di
Washington. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk merubah apalagi mengatakan
tidak, pemerintah diharuskan untuk menandatangani kesepakatan itu. Setelah LOI
disetujui, maka pemerintah harus mengeluarkan keputusan menteri, peraturan
pemerintah atau keputusan lain, sehingga kuat dasar hukumnya. Inti dari LOI itu
adalah liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, dan
pendisiplinan defisit APBN. Lihat analisis Stiglitz (2002) tentang cara
kerja mereka sebagai aliran neo-liberal,
dan Blustein (2001) merekam perilaku IMF di negara berkembang. Juga kritik
Stiglitz (2003) terhadap pemerintah AS yang memaksa kehendaknya melalui Bank
Dunia atau IMF. Padahal di negara AS sendiri banyak hal yang terkait dengan
privatisasi dan liberalisasi tidak sepenuhnya dilaksanakan. Chang dan Grabel
(2004) membahas khusus tentang
mitos dan realita tentang pasar bebas
dan global neoliberal. Contohnya, LOI yang dikeluarkan tgl 11 September 1998.
Isinya antara lain : ”also, for the first time in thirty years, we will
allow private traders to import rice”. Kemudian, pemerintah mengeluarkan SK
Mendag no.439 tentang bea masuk, tertanggal 22 September 1998. Isi SK itu
adalah impor beras dibebaskan, dengan bea masuk 0 persen.
Hampir semua kesepakatan itu, tidak
pernah dibahas dengan transparan, yang melibatkan masyarakat luas, bahkan
parlemen sekalipun tidak pernah mengetahuinya. Itu suatu produk kesepakatan
yang amat tidak demokratis. Para ahli ekonomi dan politik pribumi tercengang
dan shock dengan reformasi radikal yang dilakukan oleh pemerintah.
Padahal banyak kesepakatan dengan IMF melanggar UUD 45 dan GBHN (Baswir, 2003
dan Swasono, 2003). Pada 15 Januari 1998, Presiden Suharto menandatangani
program IMF yang terkait dengan penghapusan KKN. Banyak rakyat Indonesia
terutama pejabat militer marah, menonton TV dan baca koran besok harinya,
bagaimana Presiden
RI menandatangani proposal itu,
dihadapan Mr. Camdessus yang berdiri dengan pongah bersilang tangan. Itu amat
menghina rakyat Indonesia.
Banyak pihak, bahkan para ahli luar
negeri sekalipun, melihat keganjilan atas program IMF yang dipaksakan buat
Indonesia. Blustein (2001) melaporkan salah seorang diantaranya adalah Paul
Volcker, mantan pimpinan Fed. Ia kaget tentang hubungan antara penghapusan
monopoli cengkeh dengan program stabilisasi ekonomi makro. Atas program IMF
itu, Mr. Volcker berkomentar
seperti berikut ”I’d never read an
entire Fund program before”. Seterusnya ia tambahkan “The Fund’s
business is macro policy, and that’s stuff you can change. How programmatic you
can be, in things that go into basic culture and economic structure- whether
that’s productive or counterproductive, well, it’s a continuing issue, that’s
all I will say”. Selanjutnya Blustein (2001) menuturkan pandangan seorang
banker dunia berkedudukan di Washington yang dimintakan bantuan oleh IMF yaitu
Ms. Florence Cazenave. Ia ragu atas paket anti KKN dan reformasi struktural
yang dibuat IMF, karena tidak terkait dengan isu utama tentang pasar. Ia mengatakan
pada IMF: “The program, should focus on addressing the problems of the
banking system and the foreign debt burden of Indonesia corporations”. Akhirnya
ia mangatakan kepada Camdessus “I would love to go home, but we have still
not started on the problems of the financial sector.”
“Krismon” berlangsung bersamaan dengan
musim kemarau panjang, yang menyebabkan produksi nasional turun 3,37 persen dan
0,28 persen masing-masing untuk 1997 dan 1998, sehingga impor beras dalam periode
1998-1999 mencapai 3,8 MMT/tahun. Itu sama dengan hampir 15 persen dari total
beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Pada waktu itu, rasio swasembada
merosot turun menjadi 88 persen,
terendah sejak 1990. Itu artinya, ketergantungan
impor beras meningkat yaitu menjadi
hampir 12 persen/tahun. Peningkatan impor
ini tidak lepas dari kebijakan
liberalisasi perdagangan beras.
Selama periode 10 tahun terakhir
(1996-2005) dapat pula dipakai untuk menghitung dan menganalisis tentang
terjadinya serbuan impor beras ke Indonesia. Serbuan impor didefinisikan bila
terjadi lonjakan impor lebih dari 10 persen dari rataan bergerak (moving
average) periode 3 tahun terakhir. Dengan
memakai kriteria itu, maka Indonesia
mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003, yang besarannya
mencapai masing-masing 84 persen, 78 persen, 42 persen dan 11 persen
Serbuan impor ini terjadi lebih parah,
karena sebagian besar beras impor itu masuk dalam musim panen raya (MPR) dan
panen gadu (MPG). Pada periode 1998-99 dan 2000-03, jumlah beras impor yang
masuk dalam periode itu mecapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini
mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan
harga antar musim. Harga gabah
pada musim paceklik mejadi lebih rendah
dari harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong
terjadi dan meluasnya kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar
yang ditetapkan pemerintah.
Harga beras di pasar dunia terus
merosot, yaitu mencapai angka terendah US$ 140/Ton, serta menguatnya nilai
tukar Rp terhadap USD, menyebabkan harga beras impor menjadi jauh lebih murah.
Petani dan penggilingan padi, menjerit. Beras hasil produksi dari wilayah
produsen di desa tidak cepat mengalir ke wilayah konsumen di kota. Suplai beras
di kota telah terisi dengan beras impor
yang harganya murah, sehingga harga
gabah menjadi tertekan, perdagangan antar pulau lesu.
Daerah konsumen utama di luar Jawa,
seperti Sumatera dan Kalimantan, telah terisi oleh beras impor. Mengalirnya
impor beras itu, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2 berikut. Beras impor
masuk ke kantong-kantong konsumen di kota-kota besar di luar Jawa dan di Jawa.
Walaupun beras impor itu
tidak sampai ke tingkat petani/desa,
namun dampaknya luas. Beras dari desa produsen tidak bisa mengalir ke wilayah
konsumen di kota, perdagangan antar pulau lesu. Ini menjadi penyebab, harga
beras dan gabah di wilayah produsen menjadi tertekan rendah (baik berupa
pengamanan HPP maupun pengelolaan impor), maka harga gabah tingkat produsen
pasti akan jatuh di MPR, dan harganya melonjak pada MP. Kejatuhan harga beras
di bawah HPP meluas, mencapai 43 persen pada 2003.
Pergerakan harga antar musim menjadi
kacau, tidak seperti biasanya. Misalnya harga GKP pada MP atau MPG lebih rendah
dari harga MPR. Ini artinya, banyak beras impor masuk pada masa MPG dan stok
itu, menyebabkan over supply sehingga mendorong harga turun di MP
(Gambar 3). Dengan pergerakan harga seperti itu, maka akan mengurangi insentif
para pelaku usaha, terutama UKM
untuk membeli gabah, menggiling serta
menyimpannya. Kejatuhan harga dasar
meluas dan besar. Pemerintah kemudian
menetapkan tariff untuk beras Rp 430/kg
atau setara dengan 30 persen Ad Valorem
pada waktu ditetapkan, Januari 2000.
Melihat keresahan petani dan
pengggilingan padi, pemerintahan baru Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur)
mendiskusi ulang dengan IMF untuk mengoreksi tentang kebijakan liberalisasi
beras dan gula. Kebijakan tarif ini, awalnya tidak disetujui IMF. Seorang
Menteri Senior, Kwik Kian Gie mengeluh bagaimana perasaannya tercabik-cabik
pada waktu menghadapi para ahli dari IMF, yang umumnya masih muda, belum berpengalaman
di negara berkembang. Mereka masih hijau, hanya ahli moneter dan belum lama
lulus dari universitas. Hal yang sama juga keluhan, Wapres Yusuf
Kala, yang kala itu menjabat sebagai
Menteri Perdagangan. Mereka harus bertemu dengan tim IMF sampai 5-6 kali, hanya
sekedar untuk memperoleh persetujuan penerapan tarif untuk beras dan gula.
Akhirnya, pemerintah menetapkan tarif
seperti yang telah disebutkan di atas, mulai berlaku Januari 2000. Awalnya,
hanya hambatan tarif, tetapi kemudian ditambah dengan inspeksi fisik dengan
ketat (red line) terhadap beras. Ini diperlukan untuk mengefektifkan
penerapan tarif. Penerapan tarif, ternyata tidaklah mudah. Banyak hambatan di border,
terutama pengamanan dari penyelundupan. Infrastruktur yang kurang memadai,
jumlah kapal untuk menjaga pantai amat terbatas, dan telah berumur tua. Belum
lagi, masalah keterbatasan biaya serta rigiditas penggunaan APBN untuk
membiayai operasional kapal pengawas pantai. Di samping itu, rendahnya gaji dan
tunjangan para pelaksana di border maupun para pengawas, sehingga sulit
sekali memberantas penyelundupan.
Walaupun telah dicoba dengan kontrol
ketat melalui pemeriksaan fisik (red line), ternyata masih kurang ampuh.
Bahkan salah urus itu terjadi di Tanjung Periuk, pelabuhan di ibu kota.
Padahal, penerapan tujuan penerapan tariff specific untuk memperkecil
risiko penyelewengan dalam penentuan harga beras yang berbeda harganya karena
berbeda kualitasnya. Namun para importer tidak kalah
akal, mereka melaporkan lebih rendah
dari volume impor dari sesungguhnya (under-invoice), lihat Tabor et
al. (2002). Itu berbeda sekali penerapan tariff specific di negara
maju, yang tujuannya untuk meningkatkan tingkat tariff dalam persentase,
manakala harga produk yang dimaksud di pasar dunia turun.
Ketidakefektifan tarif dapat dilihat
secara tidak langsung melalui selisih data impor beras dari negara eksportir
dibandingkan dengan data resmi yang dilaporkan pemerintah. Data impor yang
berasal dari TRR (berasal dari negara eksportir) jauh lebih tinggi dari yang
dilaporkan BPS yang memperoleh data dari Ditrektorat Bea Cukai. Selisih itu,
semakin tinggi dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode 1998-99,
sekitar 25 persen laporan data impor beras dari BPS lebih rendah dari data TRR.
Sedangkan periode 2000-03, melonjak menjadi 44 persen. Semakin tinggi selisih
harga beras dalam lawan luar negeri, semakin tinggi pula insentif terjadinya
penyelundupan, dan salah urus di border
tentunya. Pergerakan harga gabah antar
musim terganggu lagi, pada 2002 dan 2003, karena adanya serbuan impor
masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen. Impor beras ternyata banyak
masuk dalam bulan-bulan di mana masih panen yaitu di MPG, padahal pada periode
itu suplai beras dalam negeri masih tinggi. Ini menyebabkan bertambahnya suplai
dan stok berlebih, sehingga telah
mendorong harga tertekan di MP. Kasus
kejatuhan harga gabah juga meluas dalam periode itu. Pada waktu itu, kejatuhan
harga di MP masing-masing 13 persen dan 42 persen.
Salah satu akibat dari ketidakmampuan
pengelolaan impor beras adalah perdagangan antar pulau menjadi lesu, beras dari
daerah produsen tidak mengalir ke wilayah konsumen di kota. Akibatnya adalah
harga beras ditingkat petani tertekan rendah. Ini telah berdampak buruk
terhadap petani miskin/sempit serta lesunya aktivitas perdagangan yang umumnya
dikuasai oleh UKM. Itu juga telah
memperburuk distribusi pendapatan dan
membuat pembangunan perdesaan menjadi lesu.
Berbagai kesulitan dan salah urus
tentang efektifitas penerapan tarif, mendorong petani dan parlemen untuk
meminta pemerintah untuk melarang impor beras. Pada Januari 2004, impor beras
dilarang sesuai dengan SK Menperindag no.9/MPP/Kep/1/2004. Mulanya hanya
berlaku beberapa bulan yaitu sebulan sebelum panen raya, selama panen raya dan
dua bulan setelahnya. Di luar bulan-bulan tersebut, impor beras dikontrol
dengan pemberian kuota terhadap importir IP (importir produsen)
dan IT (importir terdaftar), impor beras
tidak dibuka sebagai importir umum. Pemerintah kemudian mengoreksinya, dengan
terus melarang impor beras sampai sekarang.
Penerapan larangan impor ternyata
efektif untuk mencegah terjadi impor berlebih. Pada waktu yang sama, pemerintah
amat gencar untuk memberantas penyelundupan dan mendorong produksi padi dalam
negeri, sehingga impor beras sejak 2004 berkurang dengan drastis. Rataan impor
turun menjadi 221 ribu ton/tahun periode 2004-2005. Pergerakan harga gabah
antar musim pun menjadi
normal kembali, walau peningkatan harga
beras dalam negeri cukup tinggi.
PENUTUP
Pandangan Bank Dunia harus disikapi
secara kritis, karena yang merasakan akibat dari implementasi saran mereka yang
bias itu adalah bangsa kita, petani kita, masyarakat kita. Mereka datang kemari
silih berganti ahlinya, tetapi itu sekedar melaksanakan pesan sponsor. Kita
telah terperangkap dengan
hutang luar negeri dan SDA milik bangsa
ini yang dikapling dan dikuasai bangsa asing. Kita semakin sulit keluar dari
kemiskinan dan kepapaan, padahal kita berada di negara yang kaya. Sayang para
pengambil keputusan, banyak diantara para birokrat kurang memahami politik
kurang terpuji di belakang lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia
dan IMF. Dalam tataran perundingan multilateral misalnya, mereka juga jarang
memihak negera berkembang, mereka jelas memihak negara kaya dan korporasi
internasional (MNCs). Itulah yang harus disikapi dangan bijaksana dan
hati-hati. Indonesia telah berpengalaman dalam liberalisasi beras. Dampaknya
amat buruk buat petani dan pelaku usaha UKM seperti pedagang kecil,
penggilingan padi. Indonesia pernah mengalami serbuan impor beras pada 1998,
1999, 2002 dan 2003. Demikian juga instrumen tarif tampaknya belumlah cukup
ampuh untuk melindungi petani dari perdagangan yang tidak adil, walaupun diakui
instrumen ini lebih transparan dan sesuai dengan kaidah perdagangan
multilateral. Salah satu
alasannya karena lemah dalam
implementasi dan buruknya infrastruktur di border, disamping para pelaksana di
lapangan yang belum jujur, sehingga penyelundupan sulit diberantas. Solusi yang
terbaik adalah tetap perlu instrumen non-tariff barrier seperti quantitative
restriction untuk mengefektifkan perlindungan, setidaktidaknya dalam jangka
menengah, sambil membenahi efektivitas perlindungan
melalui instrumen tarif.