ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan)
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk mengetahui peran
Indonesia dalam perdagangan gula, apakah sebagai negara eksportir atau importir. Secara matematis, Tambunan (2004)
merumuskan penghitungan indeks spesialisasi
perdagangan sebagai berikut:
ISP = ( Xia - Mia ) / ( Xia
+ Mia) ………. (1)
Keterangan:
X = Ekspor
M = Impor
i = Komoditas tertentu
a = Negara
Nilai dari ISP adalah antara -1 dan +1. Jika nilai dari ISP (0 < ISP ≤ 1), maka komoditas bersangkutan
mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai
pengekspor komoditas tersebut (supply domestik
lebih besar daripada permintaan domestik). Sebaliknya, daya saing rendah atau
cenderung sebagai pengimpor (supply domestik lebih kecil daripada permintaan
domestik) jika nilai ISP negatif (-1≤ISP<0).
Jika indeksnya naik berarti daya saingnya naik dan sebaliknya (Tambunan,
2004). ISP juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditas dalam perdagangan
yang terbagi ke dalam 5 tahap, yaitu:
1. Tahap pengenalan
Tahap pengenalan adalah tahap ketika suatu industri (forerunner)
di suatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang
belakangan (latercomer) (negara B) mengimpor produk-produk tersebut.
Dalam tahap ini, nilai indeks ISP adalah -1,00 sampai -0,50.
2. Tahap subtitusi impor
Pada tahap subtitusi impor, nilai indeks ISP naik
antara - 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di negara B menunjukkan
daya saing yang sangat rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi
untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk
dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri masih lebih kecil
daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditas tersebut,
pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.
3. Tahap pertumbuhan
Pada tahap pertumbuhan nilai indeks ISP negara B naik antara 0,01
sampai 0,80, dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala besar dan
mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran negara B untuk komoditas
tersebut lebih besar daripada permintaan.
4. Tahap kematangan
Pada tahap kematangan nilai indeks negara B berada pada kisaran
0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap
standardisasi, terutama dalam hal yang menyangkut teknologi yang dikandungnya.
Pada tahap ini negara B merupakan negara net exporter.
5. Tahap kembali mengimpor
Pada tahap kembali mengimpor nilai indeks ISP negara B kembali
menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing
di pasar domestiknya dengan industri dari negara A, dan produksi dalam negeri
lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
Metode
yang digunakan untuk mengetahui posisi perdagangan gula Indonesia di pasar
internasional dilakukan dengan metode Import Dependency Ratio (IDR). IDR atau rasio
ketergantungan impor yaitu alat yang digunakan untuk melihat tingkat ketergantungan impor suatu negara terhadap komoditas
tertentu. Dengan menganalisis IDR dapat diketahui seberapa besar ketergantungan
impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Secara
matematis, rasio ketergantungan impor dapat dirumuskan sebagai (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009) :
Keterangan :
M = impor
X =
ekspor
I =
jenis barang
A = negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar