Sabtu, 16 November 2013

Indeks Spesialisasi Perdagangan


ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan)

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk mengetahui peran Indonesia dalam perdagangan gula, apakah sebagai negara eksportir atau importir. Secara matematis, Tambunan (2004) merumuskan penghitungan indeks spesialisasi perdagangan sebagai  berikut:

ISP = ( Xia - Mia ) / ( Xia + Mia) ………. (1)

Keterangan:
X         =  Ekspor
M         =  Impor
i           =  Komoditas tertentu
a          =  Negara

Nilai dari ISP  adalah antara -1 dan +1.  Jika nilai dari ISP (0 < ISP 1), maka komoditas bersangkutan mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai pengekspor komoditas tersebut (supply domestik lebih besar daripada permintaan domestik). Sebaliknya, daya saing rendah atau cenderung sebagai pengimpor (supply domestik lebih kecil daripada permintaan domestik) jika nilai ISP negatif (-1≤ISP<0).  Jika indeksnya naik berarti daya saingnya naik dan sebaliknya (Tambunan, 2004). ISP  juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditas dalam perdagangan yang terbagi ke dalam 5 tahap, yaitu:

1.   Tahap pengenalan

Tahap pengenalan adalah tahap ketika suatu industri (forerunner) di suatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) (negara B) mengimpor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP adalah -1,00 sampai -0,50.

2.   Tahap subtitusi impor

Pada tahap subtitusi impor, nilai indeks ISP naik antara - 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditas tersebut, pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. 

3.   Tahap pertumbuhan

Pada tahap pertumbuhan nilai indeks ISP negara B naik antara 0,01 sampai 0,80, dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran negara B untuk komoditas tersebut lebih besar daripada permintaan.

4.   Tahap kematangan

Pada tahap kematangan nilai indeks negara B berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi, terutama dalam hal yang menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara net exporter.

5.   Tahap kembali mengimpor

Pada tahap kembali mengimpor nilai indeks ISP negara B kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
Metode yang digunakan untuk mengetahui posisi perdagangan gula Indonesia di pasar internasional dilakukan dengan metode Import Dependency Ratio (IDR). IDR atau rasio ketergantungan impor yaitu alat yang digunakan untuk melihat tingkat ketergantungan impor suatu negara terhadap komoditas tertentu. Dengan menganalisis IDR dapat diketahui seberapa besar ketergantungan impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Secara matematis, rasio ketergantungan impor dapat dirumuskan sebagai (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009) :

IDR = M / Produksi + M-X x 100 ………...…...(2)

Keterangan :   
M   = impor
X   = ekspor
I   = jenis barang
A  = negara

Semakin besar nilai IDR maka ketergantungan impor negara tersebut terhadap suatu komoditas juga semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil nilai IDR maka ketergantungan impor suatu negara juga semakin rendah. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar