Selasa, 30 Oktober 2012

alih fungsi lahan hutan di Lampung





KERUSAKAN HUTAN


Idris Sarong Al Mar mendefiniskan hukum kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan.
Sedangkan Salim mengemukakan bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, serta hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan . Hal senada yang telah dirumuskan Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan pengurusannya.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan meliputi:
(1)    adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis;
(2)    mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan;
(3)    mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan.
Pengertian hutan pada pasal 1  ayat  (2) UU Nomor  41 Tahun 1999 jo UU Nomor  19 Tahun 2004  tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 41 Tahun 1999  tentang Kehutanan Menjadi UU, dinyatakan  bahwa suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan.
Dengan demikian, dari pengertian di atas ada beberapa unsur yakni (1) unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar) yang disebut tanah hutan, (2) unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna, (3) unsur lingkungan dan, (4), semua unsur merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya. Oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari dan diurus dengan akhlak  mulia, adil, arif dan bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggungjawab.
Pasal 5 UU Nomor  41 Tahun 1999 Jo UU Nomor  19 Tahun 2004,  ditentukan empat jenis hutan, yaitu berdasarkan (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus, dan (4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
Pengurusan hutan yang ada bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan ,meliputi kegiatan penyelenggaran:
a.    perencanaan kehutanan;
b.    pengelolaan hutan;
c.    penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
d.   pengawasan.

Berbagai macam upaya dilakukan untuk melestarikan sumber daya hutan dalam menjaga fungsi pokok hutan yang meliputi: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Namun hasilnya kurang menggembirakan. khususnya hutan secara terpadu dan berkelanjutan dari waktu-kewaktu.
Pengelolaan hutan secara terpadu dan berkelanjutan masih merupakan obsesi yang sulit diwujudkan. Hal ini karena rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam konservasi serta belum optimalnya pemerintah menangani persoalan sumber daya hutan yang mengakibatkan, tidak tercapainya tujuan pengelolaan kawasan konservasi hutan di Indonesia dapat dilakukan secara baik. 
Ke depan, pemerintah perlu sosialiasi terhadap apa yang menjadi kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan hutan, agar  tercipta hutan yang berkelanjutan dan lestari.
Penghijauan adalah salah satu kegiatan penting yang harus dilaksanakan secara konseptual dalam menangani krisis lingkungan. Begitu pentingnya sehingga penghijauan sudah merupakan program nasional yang dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa tidak jarang pembangunan dibangun di lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau. Padahal tumbuhan dalam ekosistem berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial untuk makhluk lainnya dan mengubah CO2 menjadi O2 dalam proses fotosintesis. Sehingga dengan meningkatkan penghijauan di perkotaan berarti dapat mengurangi CO2 atau polutan lainnya yang berperan terjadinya efek rumah kaca atau gangguan iklim. Di samping vegetasi berperan dalam kehidupan dan kesehatan lingkungan secara fisik, juga berperan estetika serta kesehatan jiwa. Mengingat pentingnya peranan vegetasi ini terutama di perkotaan untuk menangani krisis lingkungan maka diperlukan perencanaan dan penanaman vegetasi untuk penghijauan secara konseptual.
Dari berbagai pengamatan dan penelitian ada kecenderungan bahwa pelaksanaan penghijauan belum konseptual, malah terkesan asal jadi. Memilih jenis tanaman dengan alasan mudah diperoleh, murah harganya dan cepat tumbuh.
Manfaat hutan antara lain :
  1. Sebagai suplyer Oksigen yang merupakan bahan baku utama untuk pernafasan manusia,
  2. Menyerap karbondioksida,
  3. Sebagai pencegah erosi,
  4. Sebagai kawasan lidung dan pariwisata, dan
  5. Sebagai paru-paru dunia.

Pemerintah saat ini lebih memprioritaskan upaya konservasi kawasan hutan guna mewujudkan pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam hutan, daripada mengalihfungsikan kawasan hutan. Kebijakan pengalihfungsian kawasan hutan di masa lalu dilakukan melalui kegiatan perubahan fungsi kawasan hutan dari fungsi hutan konservasi dan atau hutan lindung menjadi hutan produksi untuk tujuan pembangunan kehutanan (hutan alam, hutan tanaman) maupun non kehutanan (pertambangan dan non kehutanan lainnya).

Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
  1. Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
  2. Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan non kehutanan lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula melalui perubahan fungsi hutan namun tidak mengurangi luas kawasan hutan, misalnya untuk tujuan pembangunan kehutanan (konservasi kawasan hutan alam/tanaman, hutan pendidikan/penelitian dsb).
  3. Alih fungsi kawasan hutan yang berimplikasi terhadap berkurangnya luas kawasan hutan produksi adalah kegiatan pelepasan hutan. Kebijakan di masa lalu, dalam upaya mendukung pembangunan di luar sektor kehutanan telah ditetapkan Rencana Penatagunaan dan Pengukuhan Hutan (RPPH) yang tertuang dalam TGHK (tahun 1980) bahwa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dialokasikan sebesar + 30 juta hektar.

UU No.41/99 tentang Kehutanan Pasal 19 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa untuk melakukan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus didasarkan atas penelitian terpadu yang secara operasional prosedurnya diatur melalui SK Menhut No. 70/Kpts-II/2000. Sedangkan pengkajiannya dilakukan oleh tim terpadu sesuai SK Menhut No. 1615/Kpts-VII/2001. Dengan terbitnya UU No.41/99, kegiatan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tidak dengan mudah dilaksanakan mengingat di samping perubahan tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria sebagaimana tercantum dalam PP No. 47 tahun 1997, PP No. 68 tahun 1998, Keppres no. 32 tahun 1992, Keputusan-keputusan Menteri/SKB, juga perlu mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan kabupaten, serta harus didasarkan atas pengkajian secara terpadu oleh tim terpadu tersebut. Dan apabila berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis diperlukan persetujuan legislatif. (DPR/DPRD).

Laju degradasi hutan di Indonesia sepuluh tahun terakhir mencapai 1,6 hutan Ha/th, hal ini dinilai sangat memprihatinkan. Departemen Kehutanan berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi dan menekan laju degradasi tersebut dengan menerapkan moratorium konversi hutan alam sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 603/Menhutbun-VIII/2000 jo surat Menhut No. 1712/Menhut-VII/2001 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati seluruh Indonesia untuk tidak menerbitkan rekomendasi permohonan pelepasan kawasan hutan bagi pengembangan budidaya perkebunan, namun justru mendorong para pengusaha untuk mendayagunakan lahan yang telah disetujui pelepasannya. Berdasarkan data yang ada, dari hutan produksi yang dapat dikonversi yang telah dilepaskan bagi kepentingan pengembangan perkebunan seluas 4,4 juta hektar, namun realisasi tanaman perkebunan baru mencapai 1,5 juta hektar (+ 34%), sedangkan sisanya dalam kondisi telantar sehingga harus didorong untuk didayagunakan sesuai dengan peruntukannya. Dengan adanya penerapan moratorium konversi hutan alam tersebut, maka sejak 7 Juni 2000 Departemen Kehutanan tidak lagi mengeluarkan ijin alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan pelepasan kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan budidaya pertanian/perkebunan.

Kebijakan tukar menukar kawasan hutan telah dituangkan dalam keputusan Menhut No. 292/KptsII/1995 tanggal 12 Juni 1995 jo No. 70/Kpts-II/2001 tgl 15 maret 2001. Berdasarkan kebijakan tersebut tukar menukar hanya diperbolehkan untuk:

  1. Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum terbatas oleh instansi pemerintah atau untuk pembangunan proyek strategis,
  2. Menghilangkan enclave dalam rangka mewujudkan kawasan hutan yang kompak       sehingga memudahkan pengelolaan kawasan hutan , dan
  3. Menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa ijin Menteri Kehutanan (okupasi) dan memperbaiki batas kawasan hutan.

Dewasa ini Departemen Kehutanan sedang melakukan evaluasi pelepasan kawasan hutan untuk budidaya pertanian/perkebunan terhadap perusahaan-perusahaan pemohon. Hasil evaluasi dapat diuraikan sbb:

1.       Telah diterbitkan surat penolakan terhadap permohonan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya pertanian/perkebunan setelah tanggal 7 Juni 2000 dan permohonan sebelum tanggal 7 Juni 2000 yang tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan.
2.       Mencabut kembali surat ijin persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan untuk budidaya pertanian/perkebunan yang nyata-nyata tidak ada kemajuan fisik dan administratif.
3.           Mencabut kembali ijin pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan budidaya pertanian/perkebunan terhadap perusahaan yang nyata-nyata tidak memanfaatkan lahan hutan yang telah diberikan, menyalahgunakan pemanfaatannya, tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan proposal dan IUP atau tidak menyelesaikan pengurusan hak guna usahanya.

Sedangkan alih fungsi kawasan hutan melalui proses perubahan fungsi hutan saat ini dengan prioritas mendorong sepenuhnya terhadap proses perubahan fungsi hutan dari fungsi hutan produksi dan atau hutan lindung menjadi kawasan konservasi, dan fungsi hutan produksi menjadi hutan lindung. Hal ini dilakukan dalam upaya penyelamatan, pelestarian dan perlindungan terhadap sumberdaya alam sebagai penyangga kehidupan. Prioritas berikutnya yaitu melakukan proses sangat selektif terhadap permohonan perubahan fungsi hutan dalam kaitannya dengan pembangunan hutan tanaman yaitu diarahkan pada kawasan hutan produksi yang tidak berhutan yang ditumbuhi semak, alang-alang atau tanah kosong.

Tata kelola hutan di era otonomi daerah menjadi perhatian lembaga riset dunia Centre for International Forestry Research (CIFOR). Lembaga ini mengadakan penelitian tata kelola hutan di Asia Pasifik. Tata kelola hutan di era otonomi daerah ini, diharapkan memberi manfaat besar bagi warga sekitar hutan itu.
Permasalahan tata kelola hutan menjadi salah satu faktor tergerusnya hutan di dunia. Padahal fungsi hutan itu sangat banyak, terutama bila dikaitkan pada masalah pemanasan global. Salah satu kunci untuk mengelola hutan yang berkelanjutan, adalah menyepakati soal tata kelola hutan oleh berbagai pihak.  Misalnya di Indonesia. Sejak diberlakukan otonomi daerah di tahun 2000, itu merupakan langkah positif untuk melibatkan semua pihak yang berdampingan dengan hutan itu. Keterlibatan itu membuat warga sekitar menjadi bagian penting di ekosistem itu. Mereka pun bisa berperan aktif dalam kelestarian hutan dan pengelolaannya.
Beberapa negara Asia Pasific yang juga mengembangkan sistem desentralisasi itu, Indonesia menjadi salah satu contoh dimana sudah berpengalaman mengenai  otonomi daerah. Memang diakui, penerapan di lapangan, dengan pemberian wewenang begitu besar ke pemerintah daerah (pemda) itu, masih menemui beberapa hambatan. Terutama soal pengelolaan hutan yang tepat guna. Sehingga perlu evaluasi intens agar bisa ditingkatkan di masa depan.
Ada proses yang cukup menarik untuk pengelolaan hutan secara luas. Saat ini warga lokal dan pemda yang hidup dekat hutan, diberi kesempatan agar merasakan langsung manfaat dari pengelolaan hutan. Karena sebelumnya di era orde baru, pengelolaan hutan itu diserahkan kepada perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) saja, sehingga hasil kelola dari hutan itu hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Pada saat otonomi daerah diberlakukan, maka harapan besar pengelolaan itu bisa sesuai dengan kebutuhan setempat, dan bermanfaat bagi warga sekitar.
Saat ini  kendala dalam kelola hutan  adalah komunikasi antara pemda dan pemerintah pusat. Keduanya seakan hanya mengejar keuntungan tunai saja, tanpa melihat kepentingan jangka panjang dari pengelolaan hutan di negeri ini. Satu hal terpenting adalah komunikasi dan kesepakatan tata kelola yang baik. Misalnya transparansi, pembagian keuntungan yang jelas, juga keterwakilan semua pihak dalam proses perundingan itu, dan juga masalah konsep-konsep pengelolaan yang sebaiknya dilakukan.
Kerusakan hutan telah terjadi diberbagai belahan bumi khususnya Indonesia. Di Indonesia sendiri telah terjadi diberbagai Propinsi diantaranya Propinsi Lampung dan Propinsi Kalimantan.



KERUSAKAN HUTAN DI PROPINSI LAMPUNG

A)    Keadaan hutan Lampung
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan dan perairan Propinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 1999 adalah seluas ± 1.004.734 ha.
Tabel 1. Kawasan Hutan
Fungsi Kawasan
Luas (ha)
Persen Luas (%)
Kawasan Hutan Konservasi
± 462.030 ha
45,99 %
Kawasan Hutan Lindung
± 317.615 ha
31,61 %
Kawasan Hutan Produksi
-          Kawasan Hutan Produksi terbatas
-          Kawasan Hutan Produksi Tetap
± 225.090 ha
± 33.358 ha
± 191.732 ha
22,40 %
3,32 %
19,08 %
Luas Keseluruhan
1.004.735 ha
100 %

Kawasan Konservasi terdiri dari Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TW), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Buru (TB). Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Keadaan penutupan lahan propinsi Lampung, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat yang berkisar dari tahun 1994 s/d 1998 di wilayah daratan Lampung diketahui bahwa luas daratan yang masih berupa hutan (berhutan) adalah sebesar 11% dan daratan yang bukan berupa hutan (Non Hutan) sebesar 82%. Penutupan lahan non hutan adalah penutupan lahan selain daratan yang bervegetasi hutan yaitu berupa semak/belukar, lahan tidak produktif, sawah, lahan pertanian, pemukiman, alang-alang dan lain-lain.

 Menurut Departemen Kehutanan (2005) dari tahun ke tahun luas tutupan hutan di Indonesia mengalami penurunan dari 101.843.486 ha pada tahun 1998 menjadi 81.964.217 ha pada tahun 2004, dengan laju penurunan luas hutan yang semakin cepat yaitu mulai dari sekitar 2,53%/tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 4,82%/tahun pada tahun 2003. Secara rata-rata penurunan luas tutupan hutan itu mencapai 3,55% per tahun dalam kurun waktu 6 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003.

Konversi hutan terjadi pula di Provinsi Lampung sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.   Laju penggundulan hutan (deforestasi) di Lampung relatif tinggi. Luas hutan selama beberapa tahun terakhir telah berkurang dengan cepat dan menyebabkan kerusakan hutan. Pada tahun 1999/2000 kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB) adalah 82,014 hektar atau 25,28% dan pada tahun 2005 adalah 99,904 hektar atau 28% dari luas total hutan TNBB. Sebesar 11% lahan hutan rusak menjadi lahan belukar dan padang alang-alang dan 17% sisanya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian yaitu 88,2% digunakan untuk usahatani kopi. Sedang menurut Bappeda Propinsi Lampung (2007), kerusakan hutan di Propinsi ini mencapai 80% untuk Kawasan Hutan Lindung, 67,5% untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 76% untuk Kawasan Hutan Produksi Tetap.

Keadaan Penutupan Lahan Propinsi Lampung
Berdasarkan penafsiran citra satelit tahun 1994-1998

Tabel 2. Penutupan Lahan

Penutupan
Luas (ha)
Persen Luas (%)
Total Daratan yang ditafsir
3.359.906
100 %
Berhutan
361.319
10,75 %
Bukan hutan
2.760.658
82,16 %
Berawan
237.929
7,08 %
Sumber : Pusat Data dan Perpetaan 1998

Laju pengurangan hutan (Deforestasi) di Propinsi Lampung berdasarkan hasil perbandingan dari Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra tahun 1997 Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 13 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan sebagai berikut :

Penutupan Lahan
RePProT (1985)
Dept. Hutan (1991)
Dept. Hutan (1997)
Luas areal yang ditafsir
3.386.700
3.598.020
3.359.906
Hutan
647.800
570.060
361.319
% hutan
19,1 %
15,8 %
10,8 %

Berdasarkan data di atas rata-rata deforestasi hutan Propinsi Lampung dari tahun 1985-1997 adalah 23,873 %.

Laju  deforestasi ini disebabkan banyak faktor, yaitu sebagai berikut :

A.                Segi biofisik

1. Illegal logging (Penebangan liar)

Terjadinya penebangan liar dalam suatu kawasan hutan semakin memicu terjadinya       kereusakan hutan dan menurunnya/berubah fungsi hutan, walaupun penebangan liar telah dilarang selama bertahun-tahun oleh pemerintah setempat dan pihak militer, namun sekarang ini terdapat bahaya besar yang mengancam dengan merajalelanya pandangan “bebas bagi siapa saja” termasuk penduduk untuk menebang kayu sebanyak-banyaknya.

2. Kebakaran hutan

Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia ini, karena keteledoran dari masyarakat itu sendiri yang tidak memperhatikan/tidak memperdulikan seperti membuang puntung rokok ke hutan dan lain-lain.

3. Perambahan hutan

Petani yang menanam tanaman tahunan perkebunan dapat mengakibatkan ancaman utama berupa kerusakan hutan yang diciptakan oleh petani kaya, imigran dan pengusaha dari kota yang mengubah hutan menjadi lahan penanaman tanaman keras yang menguntungkan. Hal ini menyebabkan semakin meluasnya perambahan sehingga melewati tata batas hutan yang telah ditetapkan untuk tidak dijadikan sebagai lahan pertanian atau perkebunan.

4. Program pembangunan

Program pembangunan yang mendayagunakan lahan hutan seperti sawah, transmigrasi (pemukiman), perkebunan, dan lain-lain sehingga hutan menjadi berubah fungsi dan akan berakibat buruk bagi lingkungan.

5. Serangan hama dan penyakit

Timbulnya ledakan hama secara besar-besaran akibat dari penggunaan pestisida yang berlebihan sehingga membuat hama dan penyakit ada yang menjadi kebal terhadap pestisida dan menyerang semua tumbuhan atau pepohonan yang ada dalam suatu kawasan hutan.


B.                 Segi manajemen

1.  Kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada lingkungan misalnya, dalam             penyusunan tata ruang, yang seharusnya suatu lahan itu adalah kawasan hutan, menjadi kawasan pertanian, pemukimam dan lain-lain.

2. Perencanaan pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian hutan seperti pembangunan rumah dari batu merah, dimana pabrik batu merah berdiri di sekitar kawasan hutan, dimana pabrik itu menggunakan bahan bakar kayu yang diambil dari hutan sehingga masyarakat beramai-ramai menggunduli hutan untuk memenuhi kebutuhan pasokan kayu bakar dari pabrik batu merah.

3.  Persepsi dan pemahaman masyarakat yang tidak tepat terhadap sumber daya hutan, dimana masyarakat lebih dominan menanam tanaman pertanian dari pada tanaman kehutanan karena waktu yang dibutuh kan oleh tanaman pertanian lebih cepat menghasilkan daripada tanaman kehutanan.



B) Alih fungsi hutan

Salah satu penyebab deforestasi hutan di Propinsi Lampung adalah alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
·         Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
·         Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan non kehutanan lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula melalui perubahan fungsi hutan namun tidak mengurangi luas kawasan hutan, misalnya untuk yujuan pembangunan kehutanan (konservasi kawasan hutan alam/tanaman, hutan pendidikan/penelitian dsb).
·         Alih fungsi kawasan hutan yang berimplikasi terhadap berkurangnya luas kawasan hutan produksi adalah kegiatan pelepasan hutan. Kebijakan di masa lalu, dalam upaya mendukung pembangunan di luar sektor kehutanan telah ditetapkan Rencana Penatagunaan dan Pengukuhan Hutan (RPPH) yang tertuang dalam TGHK (tahun 1980) bahwa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dialokasikan sebesar + 30 juta hektar.

Pada tahun 1999/2000 kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB) adalah 82,014 hektar atau 25,28% dan pada tahun 2005 adalah 99,904 hektar atau 28% dari luas total hutan TNBB. Sebesar 11% lahan hutan rusak menjadi lahan belukar dan padang alang-alang dan 17% sisanya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian yaitu 88,2% digunakan untuk usahatani kopi. Sedang menurut Bappeda Propinsi Lampung (2007), kerusakan hutan di Propinsi ini mencapai 80% untuk Kawasan Hutan Lindung, 67,5% untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 76% untuk Kawasan Hutan Produksi Tetap.


C) Erosi

Usahatani berbasis kopi telah diyakini para pengambil kebijakan, sebagai penyebab tingginya erosi dan sumber sedimentasi di daerah hutan.  Meskipun berbagai dampak negatif dari alih guna lahan hutan telah banyak dibuktikan (Juo et al., 1995; Lal, 1986; Moreau, 1986; Obara et al.,1995), namun bila kebutuhan akan lahan begitu mendesak, konversi lahan hutan sangat sulit untuk dihindari. Provinsi Lampung merupakan provinsi dengan kasus alih guna lahan hutan tergolong tinggi. Secara keseluruhan kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi kebun kopi di Provinsi Lampung diperkirakan mencapai ± 71.000 ha (Hadisepoetro, 1999). Dari areal pertanaman kopi seluas 137.700 ha (Ditjen Perkebunan, 2000), ± 52 % areal kopi di Provinsi Lampung berada di kawasan hutan.

D) Pengelolaan hutan

Tata kelola hutan di era otonomi daerah menjadi perhatian lembaga riset dunia Centre for International Forestry Research (CIFOR). Lembaga ini mengadakan penelitian tata kelola hutan di Asia Pasifik. Tata kelola hutan di era otonomi daerah ini, diharapkan memberi manfaat besar bagi warga sekitar hutan itu. Permasalahan tata kelola hutan menjadi salah satu faktor tergerusnya hutan di dunia. Padahal fungsi hutan itu sangat banyak, terutama bila dikaitkan pada masalah pemanasan global. Salah satu kunci untuk mengelola hutan yang berkelanjutan, adalah menyepakati soal tata kelola hutan oleh berbagai pihak.























DAFTAR PUSTAKA


Eri Kartiadi. 2009. Tata Kelola Hutan di Era Otonomi Daerah. Green Radio. Jakarta Timur.

F. E. Prasmatiwi. 2008. Analisis ekonomi dan keberlanjutan usahatani kopi konservasi di kawasan hutan Propinsi lampung. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Mohammad Aqsa. 2010. Dampak kerusakan hutan terhadap lingkungan hidup. [13 Juni 2011].
Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. 2002. Data dan informasi Kehutanan Provinsi Lampung. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. Lampung.
Siaranpers. 2007. Alih fungsi kawasan hutan hanya untuk optimalisasi fungsi kawasan hutan . No. 807/II/PIK-1/2002. http://www.dephut.go.id. [ 12 Juni 2011].

Zain, A.S.. 1995. Hukum Lingkungan: Kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 100 halaman