Sabtu, 16 November 2013

Indeks Spesialisasi Perdagangan


ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan)

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk mengetahui peran Indonesia dalam perdagangan gula, apakah sebagai negara eksportir atau importir. Secara matematis, Tambunan (2004) merumuskan penghitungan indeks spesialisasi perdagangan sebagai  berikut:

ISP = ( Xia - Mia ) / ( Xia + Mia) ………. (1)

Keterangan:
X         =  Ekspor
M         =  Impor
i           =  Komoditas tertentu
a          =  Negara

Nilai dari ISP  adalah antara -1 dan +1.  Jika nilai dari ISP (0 < ISP 1), maka komoditas bersangkutan mempunyai daya saing yang kuat atau negara tersebut cenderung sebagai pengekspor komoditas tersebut (supply domestik lebih besar daripada permintaan domestik). Sebaliknya, daya saing rendah atau cenderung sebagai pengimpor (supply domestik lebih kecil daripada permintaan domestik) jika nilai ISP negatif (-1≤ISP<0).  Jika indeksnya naik berarti daya saingnya naik dan sebaliknya (Tambunan, 2004). ISP  juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditas dalam perdagangan yang terbagi ke dalam 5 tahap, yaitu:

1.   Tahap pengenalan

Tahap pengenalan adalah tahap ketika suatu industri (forerunner) di suatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) (negara B) mengimpor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP adalah -1,00 sampai -0,50.

2.   Tahap subtitusi impor

Pada tahap subtitusi impor, nilai indeks ISP naik antara - 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditas tersebut, pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. 

3.   Tahap pertumbuhan

Pada tahap pertumbuhan nilai indeks ISP negara B naik antara 0,01 sampai 0,80, dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran negara B untuk komoditas tersebut lebih besar daripada permintaan.

4.   Tahap kematangan

Pada tahap kematangan nilai indeks negara B berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi, terutama dalam hal yang menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara net exporter.

5.   Tahap kembali mengimpor

Pada tahap kembali mengimpor nilai indeks ISP negara B kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
Metode yang digunakan untuk mengetahui posisi perdagangan gula Indonesia di pasar internasional dilakukan dengan metode Import Dependency Ratio (IDR). IDR atau rasio ketergantungan impor yaitu alat yang digunakan untuk melihat tingkat ketergantungan impor suatu negara terhadap komoditas tertentu. Dengan menganalisis IDR dapat diketahui seberapa besar ketergantungan impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Secara matematis, rasio ketergantungan impor dapat dirumuskan sebagai (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009) :

IDR = M / Produksi + M-X x 100 ………...…...(2)

Keterangan :   
M   = impor
X   = ekspor
I   = jenis barang
A  = negara

Semakin besar nilai IDR maka ketergantungan impor negara tersebut terhadap suatu komoditas juga semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil nilai IDR maka ketergantungan impor suatu negara juga semakin rendah. 






Jumat, 15 November 2013

USULAN KEBIJAKAN BERAS
DARI BANK DUNIA: RESEP YANG KELIRU
M. Husein Sawit
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT

The World Bank has experienced a long time in influencing the Indonesian economic development policy, including rice policy. The economic policy as well as rice policy in the era of decentralization and democratic government is a public policy. It should be discussed openly to the public, involving civil society, political parties, parliament members, local and central government, scientists and others. The policy should not be dictated dominantly by scientists, particularly foreign experts. This paper argues that the Bank viewed too narrowly on poverty reduction. Expenditure poverty is very sensitive to rice price and inflation. Human poverty is different to the expenditure poverty. The former is closely related to generating employment, increasing productivity and efficiency in agriculture sector, particularly food sub-sector where the poor is more involved. The Bank is bias for short run poverty reduction, ignoring structural and chronic human poverty. The human poverty can be solved by increasing productivity in agriculture sector. At the same time, government has to spend an appropriate amount of public expenditure for the poor. It is not about how to make the rice price low.

Key words : rice policy, public policy, poverty alleviation

ABSTRAK

Kebijakan perberasan Indonesia telah menjadi perhatian untuk sejumlah lembaga internasional, termasuk Bank Dunia. Lembaga ini telah lama mengeritik dan mengintervensi sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan perberasan. Tampaknya, perilaku Bank Dunia belum banyak berubah di era desentralisasi dan demokrasi. Seharusnya yang diberi peran besar adalah masyarakat sipil, partai politik, DPR/DPRD, pemda, dan peneliti dalam merancang kebijakan publik. Itu bukan lagi menjadi domain peneliti, apalagi ahli asing. Dalam makalah ini dibahas tentang kelemahan cara pandang Bank Dunia terhadap kebijakan beras di Indonesia, terutama yang dikaitkan dengan kemiskinan. Kelemahan itu mencakup pengukuran kemiskinan yang terlalu sempit, dan bias jangka pendek, bukan melihat kemiskinan manusia yang bersifat struktural dan kronis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi pembangunan bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan harga pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Solusi yang benar adalah gerakkan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian dimana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu di antaranya, bukan membuat harga beras murah.

Kata kunci: kebijakan beras, kebijakan publik, pengentasan kemiskinan


PENDAHULUAN

Sejak akhir 2006, Bank Dunia semakin sering mengeritik pemerintah tentang kenaikan harga beras, baik terbuka maupun tertutup. Akhir-akhir ini, Bank Dunia semakin aktif melobi dan menawarkan resep buat pemerintah, agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Mereka yakin sekali, pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (World Bank, 2007). Perilaku Bank Dunia di Indonesia tampaknya belum berubah, belum belajar dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas krisis ekonomi, terjerat hutang
luar negeri, serta terlalu banyaknya sumberdaya alam, perbankan dikuasai oleh perusahaan asing. Pendapat Bank Dunia termasuk juga berbagai hasil penelitiannya, tidak kredibel di mata masyarakat luas di Indonesia. Di Makasar misalnya, Bank Dunia terpaksa harus menghilangkan atribut Bank Dunia di kantor di mana proyek mereka ada. Sebelumnya, hampir setiap hari ada saja demonstrasi
ke kantor proyek Bank Dunia, sehingga mereka tidak nyaman bekerja. Sebaik apapun saran Bank Dunia, masyarakat Indonesia pasti mencurigainya. Ini akibat dari reputasi mereka masa lalu dan akibat dari perilaku mereka sebagai salah satu lembaga perusak ekonomi, termasuk ekonomi Indonesia (Perkin, 2004). Tujuan makalah ini adalah untuk menilai kelemahan cara pandang 
yang bias tentang kebijakan beras Bank Dunia.


CARA PANDANG BANK DUNIA DAN KENYATAANNYA
Domain Publik bukan Domain Peneliti

Bank Dunia seharusnya memahami benar, tentang cara-cara menyusun kebijakan publik di era demokrasi, tidak boleh didikte oleh segelintir para ahli. Pada era sentralisasi Orba, para teknokrat dan birokrat –dibantu oleh tenaga ahli asing- berperan besar dalam mendikte kepentingan masyarakat banyak. Namun dalam era demokrasi, peran masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan publik-seperti kebijakan beras- haruslah lebih besar. Kebijakan beras itu adalah domain kebijakan publik. Kebijakan beras harus mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, DPR, pemerintah daerah, tidak boleh didikte oleh peneliti, apalagi oleh peneliti asing atau ahli lembaga asing yang kurang memahami secara mendalam tentang rumah tangga petani dan masyarakat desa. Di samping itu, apabila saran-saran mereka diterapkan pemerintah, diperkirakan akan sulit diimplementasikan di lapangan, apabila
kurang dukungan publik, kurang dukungan Pemda, serta akan selalu dipersoalkan oleh DPR/DPRD, sehingga kebijakan yang diputuskan itu menjadi tidak produktif.

Kebijakan beras yang mereka susun itu (Bank Dunia, 2007) hanya mengacu pandangan ahli asing atau literatur yang ditulis oleh orang asing. Itu tidak berarti pandangan ahli asing tidak diperlukan, tetapi tidak boleh dominan, serta perlu didalami sejumlah kepentingan yang melekat di belakangnya. Dari total hampir 100 jumlah literatur, hanya 4-5 literatur yang ditulis oleh orang Indonesia asli. Padahal, banyak studi tentang padi/beras yang telah dilakukan oleh para ahli bangsa Indonesia, tetapi diabaikan tanpa dipakai sebagai bahan rujukan. Ini menunjukkan bagaimana miskinnya Bank Dunia dalam memahami pikiran para ahli Indonesia. Namun mereka mencoba mempengaruhi sejumlah menteri ekonomi yang beraliran neoliberal. Bank Dunia juga rajin menyampaikan gagasan perubahan kebijakan beras pada berbagai forum sejak akhir 2006, baik dengan cara mengundang sejumlah ahli Indonesia ke markas mereka di Jakarta, atau  mengadakan seminar di luarnya, seperti di lembaga PBB (CAPSA) di Bogor. Namun, mereka menghindari diskusi terbuka dengan masyarakat luas (civil
society) atau dengan para pakar Indonesia di luar kubu mereka. Bank Dunia langsung menyampaikan gagasannya ke tingkat pengambilan keputusan tentang kebijakan beras ke Kantor Menko perekonomian atau ke sejumlah menteri lain yang sealiran dengan Bank Dunia. Penulis juga kaget, ada power point tentang kebijakan beras disiapkan oleh Bank Dunia untuk SBY.

Net Konsumen? Data Susenas vs data Tingkat Usahatani

Bank Dunia mengatakan bahwa telah terjadi kenaikan jumlah orang miskin yang cukup serius sejak harga beras naik. Itu buruk buat penduduk miskin, karena sebagian besar petani adalah net konsumen. Pandangan ini adalah keliru. Pola panen padi adalah musiman, mereka surplus pada MPR (musim
panen raya) dan MPG (musim panen gadu), dan defisit pada MP (musim paceklik). Tetapi, data Susenas BPS memperlihatkan sebaliknya, sebagian besar petani padi adalah net konsumen. Data Susenas haruslah dianalisis dengan hatihati dalam kaitannya dengan estimasi produksi musiman dan pengeluaran musiman. Susenas menaksir tahunan berdasarkan hasil penelitian seminggu, kemudian dikalikan menjadi tahunan. Hasilnya adalah defisit produksi (net consumer), seolah-olah terjadi sepanjang tahun. Data itulah yang dipakai Bank Dunia untuk mempertahankan argumentasinya.
Namun, hasil studi intensif yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2002) di DAS Brantas melaporkan sebaliknya. Para petani mengelola usahatani padi untuk MH (musim hujan), MK1 (musim kemarau pertama) dan MK2, masingmasing seluas 0,35 ha, 0,33 ha, dan 0,23 ha per petani. Luas ini adalah umum dijumpai pada usahatani pangan, khususnya padi di Indonesia. Mereka melaporkan bahwa konsumsi per kapita sebesar 107 kg/kap/tahun. Ini adalah jumlah yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga tani, belum termasuk konsumsi tidak langsung seperti makan di warung, pesta, tempat kerja, dll.

Terabaikan Peran Non-Food Services

Seterusnya, laporan Bank Dunia (2007) itu juga terlalu sempit dalam melihat industri beras yaitu hanya sebagai industri penghasil padi/beras untuk tujuan komersial belaka. Mereka tidak menilai peran pangan, khususnya beras yang menghasilkan non-food services. Itu menyangkut stabilitas politik, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja. Harga beras yang
berlaku di pasar belum memperhitungkan non-food services yang ia berikan ke publik (Dillon et al., 1999). Konsumen seharusnya perlu membayar harga beras lebih tinggi dari tingkat harga pasar, sekiranya non-food services itu diperhitungkan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa padi/beras adalah industri kunci dalam pembangunan, khususnya pembangunan perdesaan. Kalau suatu industri yang erat kaitannya ke depan dan kebelakang, menyerap tenaga kerja yang begitu besar, pengangguran tinggi, terutama di perdesaan, maka industri itu harus dianalisis keterkaitannya yang luas, tidak dianalisis secara parsial. Oleh karena itu, industri padi/beras harus dilihat dengan hati-hati dan bijaksana, jangan bias ke jangka pendek. Harga merupakan salah satu insentif buat pelaku usaha, namun itu bukanlah satu-satunya insentif buat mereka. Peningkatan produktivitas dan efisiensi, merupakan insentif lain yang tidak boleh diabaikan, itu terkait dengan non-price incentive. Insentif harga dan nonharga akan saling memperkuat, bukan saling menggantikan. Oleh karena itu, insentif nonharga tidak ampuh manakala harga gabah/beras terlalu rendah, tidak mampu menutupi ongkos produksi. Tingkat kemiskinan yang dikaitkan dengan harga beras, merupakan cara pandang sempit. Itu hanya cara hitung menghitung, amat jangka pendek dan adhoc sifatnya. Kita jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang, hanya sekedar untuk mencapai kepentingan jangka pendek. Adalah hampir tidak mungkin, kemiskinan jangka panjang dapat dikurangi secara berkelanjutan, manakala industri beras/padi lesu.
Kelesuan ini, tidak dengan sendirinya akan tergantikan oleh komoditas lain, seperti hortikultura. Kita tidak boleh menghambat suatu industri yang punya keunggulan komparatif, dipaksakan untuk keluar dari industri itu, padahal industri lain belum kuat terbangun. Pengembangan hortikultura misalnya, akan berisiko tinggi dan instabilitas harga yang besar, karena infrastruktur pemasaran dan distribusi yang masih amat lemah. Apabila mereka beralih ke sektor lain dalam kondisi infrastruktur itu belum diperkuat, maka akan menggiring petani sempit untuk menanggung risiko yang tinggi. Itu tidak akan mampu mengurangi jumlah orang miskin secara berkelanjutan. Itu mengingatkan pengalaman Meksiko dalam meliberalisasi komoditas jagung sebagai makanan utama mereka, dan petani jagung dialihkan ke kentang. Namun petani Meksiko tidak beralih ke tananam kentang, mereka pindah ke kota. Sebagian juga bermigrasi ke AS (IATP, 2007a dan Albert, 2004). Penanganan kentang berbeda dengan jagung, terutama dalam penyimpanan, karena pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang layak untuk itu. Akibatnya terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran di perdesaan Meksiko. Pada saat kita mengabaikan sektor kunci seperti subsektor padi/beras, maka risikonya menjadi besar. Pada situasi pengangguran tinggi dan pengangguran tidak kentara di desa amat menonjol, itu akan menambah kemiskinan dan akan mendorong bertambahnya urbanisasi. Perkotaan akan menerima beban dan akibatnya, seperti kekumuhan, kriminalitas dan keresahan sosial yang terus bertambah. Itu buah dari urbanisasi yang berlebih, mengabaikan peningkatan pendapatan serta lapangan kerja di perdesaan. Perdagangan tentu tidak dapat menyelesaikan semua itu, apalagi
kemiskinan. Mengotak-atik harga pangan agar dibuat murah, sama saja memberi obat penghilang rasa sakit sementara (pin killer), tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri. Penyakit utama adalah lapangan kerja yang terbatas, produktivitas rendah, insentif untuk bekerja di sektor pertanian merosot. Insentif harga adalah salah satu yang tidak boleh diabaikan untuk itu. Demikian juga, pada saat harga beras turun murah yaitu terjadi pada periode serbuan impor beras yang tinggi periode 1999, 2002, dan 2003 (seperti yang dibahas pada bagian lain dalam makalah ini), ternyata jumlah orang miskin tetap tidak berkurang secara  signifikan. Namun, pada saat harga beras naik, harga beras dianggap sebagai
faktor penyebabnya, tidak sebaliknya. Hal itu amat tidak realistis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga pangan atau beras murah sehingga menjadi tidak wajar buat petani.

Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisis

Kelemahan lain kaitan harga beras dengan kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema (2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu. Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23 persen. Namun peran nonberas jauh lebih tinggi mencapai 77 persen. Ia juga menyebutkan bahwa hasil penelitiannya dan penelitian lain seperti
yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR, menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi. Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri. Ia juga mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja, mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat ntuk atasi kemiskinan (Sugema, 2006).

Juga penting untuk disikapi secara kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep Sen (2000) tentang kemiskinan nonpendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as capability deprivation.
Kemiskinan sebagai kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income poverty, bukan kemiskinan pengeluaran. Tingkat kemiskinan itu tidak sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi acuan kita. Laporan tentang  kemiskinan manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari
Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP (2004).
Dengan konsep ini Dhanani dan Islam (2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25 persen, bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11 persen pada 1996. Sayang, konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program
pembangunan daerah maupun nasional. Akibatnya Indonesia amat terbelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan. Oleh karena itu, kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin
dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi pemerintah yang terarah ke orang miskin.

Impor Beras dari AS tidak Penting?

Bank Dunia (2007) juga mengklaim bahwa ekspor beras AS berpengaruh kecil ke Asia, tentunya juga ke Indonesia. Ekspor beras AS banyak ditujukan ke Amerika Latin. Kalaupun diekspor ke Asia, jenis berasnya berbeda, sehingga harga pasar jenis itu tidak terkait sama sekali (almost completely disconnected) dengan beras lokal. Ini untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir
dengan beras yang penuh subsidi berasal dari AS, karena tidak akan berpengaruh besar ke pasar beras dalam negeri. Namun, data memperlihatkan bahwa impor beras Indonesia dari AS cukup tinggi di antara negara maju yang mengekspor beras ke Indonesia. Impor beras dari AS meningkat di era liberalisasi dan era tarif. Pada 1996, hanya 9 ribu ton, meningkat menjadi 75 ribu ton pada 1999. Pada 2001 dan 2003, adalah tahuntahun tertinggi impor beras dari AS yaitu mencapai masing-masing 178 ribu dan 108 ribu ton, terbesar selama 10 tahun terakhir. Setelah Indonesia menerapkan batasan impor beras sejak 2004, impor beras dari AS menurun drastis, hanya 2 ribu ton pada 2005. AS berperan penting dalam impor beras ke Indonesia. Hampir separoh impor beras ke Indonesia yang datang dari negara maju berasal dari AS. Beras dari AS yang murah harganya, dipakai oleh para pedagang untuk dicampur (oplos) dengan beras lokal, sehingga menghasilkan jenis beras baru dengan harga yang lebih murah. Hal itu telah memperbesar stok Bulog, sehingga menjadi berkurang kemampuannya untuk menyerap pengadaan beras/gabah dalam negeri.

Impor itu dalam bentuk food aid melalui bantuan multilateral (WFP) dan melalui program PL480 dengan kredit lunak jangka panjang. Kredit lunak dan jangka panjang sesungguhnya juga merugikan pemerintah Indonesia, karena Indonesia harus membayar harga beras yang jauh lebih mahal dari harga beras di luar program. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai pejabat di berbagai departemen,
seperti Departemen Keuangan, Bappenas. AS “memaksa” agar Indonesia mau menerima program PL480. Apabila tidak berhasil meyakinkan Bulog misalnya, mereka akan ke departemen lain, atau ke pejabat tertinggi seperti presiden atau wakil presiden. Apabila telah disetujui, selanjutnya yang memutuskan kedatangan beras itu adalah AS. Umumnya didatangkan pada musim panen raya. Itu telah berpengaruh negatif terhadap tingkat harga beras/gabah di dalam negeri. Pemerintah tidak berdaya untuk itu. AS tentu mampu menjual beras dengan harga murah ke Asia. AS melalui
Farm Bill 2002 misalnya memberikan subsidi terhadap 20 komoditas pertanian. Namun, subsidi terbesar ditujukan ke 5 komoditas utama yaitu beras, kapas, gandum, jagung dan kedelai (IATP, 2007b). Inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah negara berkembang sulit bersaing dan terpuruk, seperti petani jagungMeksiko, petani kapas di Afrika (Husein Sawit, 2007). AS mensubsidi sejumlah komoditas pangan, itu banyak kaitannya dengan kepentingan korporasi raksasa. Korporasi AS itu merambah dunia, seperti Cargill (beroperasi di 63 negara), Mosanto (61 negara), Tyson Foods (80 negara) dan Archer Danniels Midland yang beroperasi di Amerika Latin, Negara Pasifik, Afrika, Kanada, Eropa.

Hasil penelitian IATP (2007b) menyebutkan bahwa AS melalui lembaga WTO dan Bank Dunia memaksa negara berkembang untuk menurunkan tarif dan membuka pasar, sehingga memuluskan MNCs milik AS untuk melakukan kegiatan bisnis pangan secara global. AS tentu ngiler melihat potensi pasar di sejumlah negara Asia, seperti China, India dan Indonesia. Disana banyak
penduduk yang memerlukan pangan, permintaan berbagai jenis pangan yang terus
meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Hal itulah yang mereka ingin rebut.

SERBUAN IMPOR BERAS

Indonesia adalah negara net importir beras sejak lama, kecuali pada waktu swasembada beras 1984. Sejak 1990, impor beras terus meningkat. Produksi beras dalam negeri tidak mampu mengejar laju pertumbuhan permintaan beras dalam negeri, seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan, terutama berkurangnya jumlah penduduk miskin. Puncak impor beras Indonesia
terjadi pada periode krismon 1998-1999. Pada era liberalisasi perdagangan, impor beras Indonesia mengalir pesat, tanpa hambatan. Kemudian pemerintah mengoreksi kebijakan itu dengan berbagai cara, menetapkan tarif spesifik dan terakhir membatasi impor (import restriction). Pada waktu pemerintah Orba, stabilisasi ekonomi makro, khususnya inflasi menjadi inti untuk pembangunan ekonomi. Harga beras berperan besar dalam penentuan tingkat inflasi, sehingga harga beras dikendalikan untuk tujuan menstabilkan harga umum. Bulog diberikan hak monopoli impor beras oleh
pemerintah, guna mestabilkan harga beras dalam negeri. Monopoli impor beras telah ada sejak zaman penjajahan. Penjajah Belanda melarang perdagangan bebas untuk beras, guna untuk melindungi kesejahteraan masyarakat perdesaan, sebagai akibat dari rendahnya harga beras di pasar global serta lemahnya posisi petani (Boeke, 1946). Sejak itu, rasional untuk mengontrol perdagangan beras telah
berubah, namun monopoli impor tetap dipertahankan dengan alasan kandungan politik yang amat sensitif (Mears, 1981)

Pada pertengahan 1997, krisis moneterpun datang yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi. Banyak sektor keuangan dan sektor riil yang tutup, terutama sektor perbankan dan konstruksi. Tingkat pengangguran tiba-tiba bertambah, serta harga barang sulit dikontrol, termasuk harga pangan dan beras khususnya. Inflasi pada 1998 melonjak menjadi 78 persen, yang sebelumnya di
bawah 10 persen, misalnya pada 1996 hanya 6 persen. Indonesia pun terpaksa harus berhutang yang lebih banyak lagi pada lembaga internasional, terutama IMF. Pada 1998, hutang luar negeri Indonesia
telah mencapai 168 persen dari GDP. Pada tahun 2006, hutang luar negeri Indonesia tinggal 40 persen dari GDP. Morosot tajam, setelah Indonesia memutuskan untuk mengembalikan seluruh hutang kepada lembaga tersebut.

Sejak itulah, Indonesia harus menerima “resep pahit” dalam kerangka pemulihan ekonomi. Resep pahit itu merambah ke sektor-sektor lain, terutama perubahan dalam kebijakan pangan, yang sesungguhnya IMF tidak punya kompetensinya. Mulai 1998, semua pangan termasuk beras tentunya, dideklarasikan pasar bebas. Peran Bulog dibatasi dan dipersempit perannya. Malah pada 1999,
perannya sebagai STE dicabut. Pada 2002, Bulog memperoleh lagi haknya sebagai STE, setelah dinotifikasi di WTO akhir 2002 (Husein Sawit, 2005). Sejumlah previlage buat Bulog dihapus, seperti subsidi kredit, dana luar budget (off-budget) dan akses terhadap nilai tukar yang bersubsidi. Sejak itu, impor pangan yang dikelola Bulog selama ini seperti gula, beras, gandum, kedelai dibebaskan tata
niaganya.  Itu tentu tidak lepas dari berbagai komitmen pemerintah yang disepakati dengan pihak IMF. IMF mengikat pemerintah dengan LOI (letter of intend). LOI itu dirancang oleh IMF di kantor pusat di Washington. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk merubah apalagi mengatakan tidak, pemerintah diharuskan untuk menandatangani kesepakatan itu. Setelah LOI disetujui, maka pemerintah harus mengeluarkan keputusan menteri, peraturan pemerintah atau keputusan lain, sehingga kuat dasar hukumnya. Inti dari LOI itu adalah liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, dan pendisiplinan defisit APBN. Lihat analisis Stiglitz (2002) tentang cara
kerja mereka sebagai aliran neo-liberal, dan Blustein (2001) merekam perilaku IMF di negara berkembang. Juga kritik Stiglitz (2003) terhadap pemerintah AS yang memaksa kehendaknya melalui Bank Dunia atau IMF. Padahal di negara AS sendiri banyak hal yang terkait dengan privatisasi dan liberalisasi tidak sepenuhnya dilaksanakan. Chang dan Grabel (2004) membahas khusus tentang
mitos dan realita tentang pasar bebas dan global neoliberal. Contohnya, LOI yang dikeluarkan tgl 11 September 1998. Isinya antara lain : ”also, for the first time in thirty years, we will allow private traders to import rice”. Kemudian, pemerintah mengeluarkan SK Mendag no.439 tentang bea masuk, tertanggal 22 September 1998. Isi SK itu adalah impor beras dibebaskan, dengan bea masuk 0 persen.
Hampir semua kesepakatan itu, tidak pernah dibahas dengan transparan, yang melibatkan masyarakat luas, bahkan parlemen sekalipun tidak pernah mengetahuinya. Itu suatu produk kesepakatan yang amat tidak demokratis. Para ahli ekonomi dan politik pribumi tercengang dan shock dengan reformasi radikal yang dilakukan oleh pemerintah. Padahal banyak kesepakatan dengan IMF melanggar UUD 45 dan GBHN (Baswir, 2003 dan Swasono, 2003). Pada 15 Januari 1998, Presiden Suharto menandatangani program IMF yang terkait dengan penghapusan KKN. Banyak rakyat Indonesia terutama pejabat militer marah, menonton TV dan baca koran besok harinya, bagaimana Presiden
RI menandatangani proposal itu, dihadapan Mr. Camdessus yang berdiri dengan pongah bersilang tangan. Itu amat menghina rakyat Indonesia.

Banyak pihak, bahkan para ahli luar negeri sekalipun, melihat keganjilan atas program IMF yang dipaksakan buat Indonesia. Blustein (2001) melaporkan salah seorang diantaranya adalah Paul Volcker, mantan pimpinan Fed. Ia kaget tentang hubungan antara penghapusan monopoli cengkeh dengan program stabilisasi ekonomi makro. Atas program IMF itu, Mr. Volcker berkomentar
seperti berikut ”I’d never read an entire Fund program before”. Seterusnya ia tambahkan “The Fund’s business is macro policy, and that’s stuff you can change. How programmatic you can be, in things that go into basic culture and economic structure- whether that’s productive or counterproductive, well, it’s a continuing issue, that’s all I will say”. Selanjutnya Blustein (2001) menuturkan pandangan seorang banker dunia berkedudukan di Washington yang dimintakan bantuan oleh IMF yaitu Ms. Florence Cazenave. Ia ragu atas paket anti KKN dan reformasi struktural yang dibuat IMF, karena tidak terkait dengan isu utama tentang pasar. Ia mengatakan pada IMF: “The program, should focus on addressing the problems of the banking system and the foreign debt burden of Indonesia corporations”. Akhirnya ia mangatakan kepada Camdessus “I would love to go home, but we have still not started on the problems of the financial sector.”
“Krismon” berlangsung bersamaan dengan musim kemarau panjang, yang menyebabkan produksi nasional turun 3,37 persen dan 0,28 persen masing-masing untuk 1997 dan 1998, sehingga impor beras dalam periode 1998-1999 mencapai 3,8 MMT/tahun. Itu sama dengan hampir 15 persen dari total beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Pada waktu itu, rasio swasembada
merosot turun menjadi 88 persen, terendah sejak 1990. Itu artinya, ketergantungan
impor beras meningkat yaitu menjadi hampir 12 persen/tahun. Peningkatan impor
ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan beras.

Selama periode 10 tahun terakhir (1996-2005) dapat pula dipakai untuk menghitung dan menganalisis tentang terjadinya serbuan impor beras ke Indonesia. Serbuan impor didefinisikan bila terjadi lonjakan impor lebih dari 10 persen dari rataan bergerak (moving average) periode 3 tahun terakhir. Dengan
memakai kriteria itu, maka Indonesia mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003, yang besarannya mencapai masing-masing 84 persen, 78 persen, 42 persen dan 11 persen

Serbuan impor ini terjadi lebih parah, karena sebagian besar beras impor itu masuk dalam musim panen raya (MPR) dan panen gadu (MPG). Pada periode 1998-99 dan 2000-03, jumlah beras impor yang masuk dalam periode itu mecapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan harga antar musim. Harga gabah
pada musim paceklik mejadi lebih rendah dari harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong terjadi dan meluasnya kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah.

Harga beras di pasar dunia terus merosot, yaitu mencapai angka terendah US$ 140/Ton, serta menguatnya nilai tukar Rp terhadap USD, menyebabkan harga beras impor menjadi jauh lebih murah. Petani dan penggilingan padi, menjerit. Beras hasil produksi dari wilayah produsen di desa tidak cepat mengalir ke wilayah konsumen di kota. Suplai beras di kota telah terisi dengan beras impor
yang harganya murah, sehingga harga gabah menjadi tertekan, perdagangan antar pulau lesu.
Daerah konsumen utama di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan, telah terisi oleh beras impor. Mengalirnya impor beras itu, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2 berikut. Beras impor masuk ke kantong-kantong konsumen di kota-kota besar di luar Jawa dan di Jawa. Walaupun beras impor itu
tidak sampai ke tingkat petani/desa, namun dampaknya luas. Beras dari desa produsen tidak bisa mengalir ke wilayah konsumen di kota, perdagangan antar pulau lesu. Ini menjadi penyebab, harga beras dan gabah di wilayah produsen menjadi tertekan rendah (baik berupa pengamanan HPP maupun pengelolaan impor), maka harga gabah tingkat produsen pasti akan jatuh di MPR, dan harganya melonjak pada MP. Kejatuhan harga beras di bawah HPP meluas, mencapai 43 persen pada 2003.

Pergerakan harga antar musim menjadi kacau, tidak seperti biasanya. Misalnya harga GKP pada MP atau MPG lebih rendah dari harga MPR. Ini artinya, banyak beras impor masuk pada masa MPG dan stok itu, menyebabkan over supply sehingga mendorong harga turun di MP (Gambar 3). Dengan pergerakan harga seperti itu, maka akan mengurangi insentif para pelaku usaha, terutama UKM
untuk membeli gabah, menggiling serta menyimpannya. Kejatuhan harga dasar
meluas dan besar. Pemerintah kemudian menetapkan tariff untuk beras Rp 430/kg
atau setara dengan 30 persen Ad Valorem pada waktu ditetapkan, Januari 2000.

Melihat keresahan petani dan pengggilingan padi, pemerintahan baru Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) mendiskusi ulang dengan IMF untuk mengoreksi tentang kebijakan liberalisasi beras dan gula. Kebijakan tarif ini, awalnya tidak disetujui IMF. Seorang Menteri Senior, Kwik Kian Gie mengeluh bagaimana perasaannya tercabik-cabik pada waktu menghadapi para ahli dari IMF, yang umumnya masih muda, belum berpengalaman di negara berkembang. Mereka masih hijau, hanya ahli moneter dan belum lama lulus dari universitas. Hal yang sama juga keluhan, Wapres Yusuf
Kala, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Mereka harus bertemu dengan tim IMF sampai 5-6 kali, hanya sekedar untuk memperoleh persetujuan penerapan tarif untuk beras dan gula.
Akhirnya, pemerintah menetapkan tarif seperti yang telah disebutkan di atas, mulai berlaku Januari 2000. Awalnya, hanya hambatan tarif, tetapi kemudian ditambah dengan inspeksi fisik dengan ketat (red line) terhadap beras. Ini diperlukan untuk mengefektifkan penerapan tarif. Penerapan tarif, ternyata tidaklah mudah. Banyak hambatan di border, terutama pengamanan dari penyelundupan. Infrastruktur yang kurang memadai, jumlah kapal untuk menjaga pantai amat terbatas, dan telah berumur tua. Belum lagi, masalah keterbatasan biaya serta rigiditas penggunaan APBN untuk membiayai operasional kapal pengawas pantai. Di samping itu, rendahnya gaji dan tunjangan para pelaksana di border maupun para pengawas, sehingga sulit sekali memberantas penyelundupan.
Walaupun telah dicoba dengan kontrol ketat melalui pemeriksaan fisik (red line), ternyata masih kurang ampuh. Bahkan salah urus itu terjadi di Tanjung Periuk, pelabuhan di ibu kota. Padahal, penerapan tujuan penerapan tariff specific untuk memperkecil risiko penyelewengan dalam penentuan harga beras yang berbeda harganya karena berbeda kualitasnya. Namun para importer tidak kalah
akal, mereka melaporkan lebih rendah dari volume impor dari sesungguhnya (under-invoice), lihat Tabor et al. (2002). Itu berbeda sekali penerapan tariff specific di negara maju, yang tujuannya untuk meningkatkan tingkat tariff dalam persentase, manakala harga produk yang dimaksud di pasar dunia turun.

Ketidakefektifan tarif dapat dilihat secara tidak langsung melalui selisih data impor beras dari negara eksportir dibandingkan dengan data resmi yang dilaporkan pemerintah. Data impor yang berasal dari TRR (berasal dari negara eksportir) jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan BPS yang memperoleh data dari Ditrektorat Bea Cukai. Selisih itu, semakin tinggi dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode 1998-99, sekitar 25 persen laporan data impor beras dari BPS lebih rendah dari data TRR. Sedangkan periode 2000-03, melonjak menjadi 44 persen. Semakin tinggi selisih harga beras dalam lawan luar negeri, semakin tinggi pula insentif terjadinya penyelundupan, dan salah urus di border
tentunya. Pergerakan harga gabah antar musim terganggu lagi, pada 2002 dan 2003, karena adanya serbuan impor masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen. Impor beras ternyata banyak masuk dalam bulan-bulan di mana masih panen yaitu di MPG, padahal pada periode itu suplai beras dalam negeri masih tinggi. Ini menyebabkan bertambahnya suplai dan stok berlebih, sehingga telah
mendorong harga tertekan di MP. Kasus kejatuhan harga gabah juga meluas dalam periode itu. Pada waktu itu, kejatuhan harga di MP masing-masing 13 persen dan 42 persen.

Salah satu akibat dari ketidakmampuan pengelolaan impor beras adalah perdagangan antar pulau menjadi lesu, beras dari daerah produsen tidak mengalir ke wilayah konsumen di kota. Akibatnya adalah harga beras ditingkat petani tertekan rendah. Ini telah berdampak buruk terhadap petani miskin/sempit serta lesunya aktivitas perdagangan yang umumnya dikuasai oleh UKM. Itu juga telah
memperburuk distribusi pendapatan dan membuat pembangunan perdesaan menjadi lesu.
Berbagai kesulitan dan salah urus tentang efektifitas penerapan tarif, mendorong petani dan parlemen untuk meminta pemerintah untuk melarang impor beras. Pada Januari 2004, impor beras dilarang sesuai dengan SK Menperindag no.9/MPP/Kep/1/2004. Mulanya hanya berlaku beberapa bulan yaitu sebulan sebelum panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelahnya. Di luar bulan-bulan tersebut, impor beras dikontrol dengan pemberian kuota terhadap importir IP (importir produsen)
dan IT (importir terdaftar), impor beras tidak dibuka sebagai importir umum. Pemerintah kemudian mengoreksinya, dengan terus melarang impor beras sampai sekarang.

Penerapan larangan impor ternyata efektif untuk mencegah terjadi impor berlebih. Pada waktu yang sama, pemerintah amat gencar untuk memberantas penyelundupan dan mendorong produksi padi dalam negeri, sehingga impor beras sejak 2004 berkurang dengan drastis. Rataan impor turun menjadi 221 ribu ton/tahun periode 2004-2005. Pergerakan harga gabah antar musim pun menjadi
normal kembali, walau peningkatan harga beras dalam negeri cukup tinggi.
PENUTUP

Pandangan Bank Dunia harus disikapi secara kritis, karena yang merasakan akibat dari implementasi saran mereka yang bias itu adalah bangsa kita, petani kita, masyarakat kita. Mereka datang kemari silih berganti ahlinya, tetapi itu sekedar melaksanakan pesan sponsor. Kita telah terperangkap dengan
hutang luar negeri dan SDA milik bangsa ini yang dikapling dan dikuasai bangsa asing. Kita semakin sulit keluar dari kemiskinan dan kepapaan, padahal kita berada di negara yang kaya. Sayang para pengambil keputusan, banyak diantara para birokrat kurang memahami politik kurang terpuji di belakang lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF. Dalam tataran perundingan multilateral misalnya, mereka juga jarang memihak negera berkembang, mereka jelas memihak negara kaya dan korporasi internasional (MNCs). Itulah yang harus disikapi dangan bijaksana dan hati-hati. Indonesia telah berpengalaman dalam liberalisasi beras. Dampaknya amat buruk buat petani dan pelaku usaha UKM seperti pedagang kecil, penggilingan padi. Indonesia pernah mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003. Demikian juga instrumen tarif tampaknya belumlah cukup ampuh untuk melindungi petani dari perdagangan yang tidak adil, walaupun diakui instrumen ini lebih transparan dan sesuai dengan kaidah perdagangan multilateral. Salah satu
alasannya karena lemah dalam implementasi dan buruknya infrastruktur di border, disamping para pelaksana di lapangan yang belum jujur, sehingga penyelundupan sulit diberantas. Solusi yang terbaik adalah tetap perlu instrumen non-tariff barrier seperti quantitative restriction untuk mengefektifkan perlindungan, setidaktidaknya dalam jangka menengah, sambil membenahi efektivitas perlindungan
melalui instrumen tarif.